Pengertian dan Definisi Jejak Ekologis
Wackernagel dan Rees (1992) mendefinisikan Jejak Ekologis atau Appropriated
Carrying Capacity suatu wilayah sebagai luas lahan dan air dalam berbagai katagori yang
diperlukan secara eksklusif oleh penduduk di dalam wilayah tersebut, untuk :
- Menyediakan secara kontinyu seluruh sumberdaya yang dikonsumsi saat ini, dan
- Menyediakan kemampuan secara kontinyu dalam menyerap seluruh limbah yang
dihasilkan.
Lahan tersebut saat ini berada di muka bumi, walaupun sebagian dapat
dipinjam dari masa lalu (misalnya : energi fosil) dan sebagian lagi dialokasikan pada
masa yang akan datang (yakni dalam bentuk kontaminasi, pohon yang
pertumbuhannya terganggu karena peningkatan radiasi ultra violet, dan degradasi lahan,
Wackernagel dan Rees, 1992).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Galli, et al; (2012) menyatakan bahwa jejak ekologis dan
biokapasitas adalah nilai-nilai yang dinyatakan dalam satuan yang saling terpisah dari suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan (atau regenerasi) layanan ekosistem setiap
tahun seperti: lahan pertanian untuk penyediaan makanan nabati dan produk serat; tanah
penggembalaan dan lahan pertanian untuk produk hewan; lahan perikanan (laut dan darat) ;
hutan untuk kayu dan hasil hutan lainnya; tanah serapan untuk mengakomodasi penyerapan
karbon dioksida antropogenik (jejak karbon), dan wilayah terbangun (built-up area) untuk
tempat tinggal dan infrastruktur lainnya.
Sesuai definisi tersebut, Wada (1993) merumuskan jejak ekologis/appropriated
carrying capacity dari kegiatan pertanian (hidroponik di rumah kaca dibandingkan dengan
mekanisasi pertanian konvensional) sebagai berikut: “Luas lahan pertanian dan ekivalen
lahan dari input pertanian lainnya (seperti energi dan material) yang dibutuhkan untuk
memproduksi unit tanaman tertentu per tahun, menggunakan teknologi pertanian tertentu.”
Kyushik, et al. (2004) memberikan konsep daya dukung kota di dalam penelitiannya yang
didefinisikan sebagai level maksimum dari kegiatan manusia seperti pertumbuhan
penduduk, penggunaan lahan, serta pembangunan fisik lainnya, yang dapat didukung oleh
lingkungan perkotaan tanpa menyebabkan kerusakan yang serius dan kerusakan yang tak
terpulihkan pada lingkungan alam.
Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa terdapat
‘ambang batas tertentu’ pada lingkungan yang apabila dilampaui, akan dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius dan tak terpulihkan pada lingkungan
alam (Kozlowski, 1997). Ketika pembahasan difokuskan pada dampak terhadap destinasi
pariwisata, biasanya didasarkan pada suatu bentuk konsep daya dukung wisatawan. Daya
dukung turisme seringkali didefinisikan sebagai berikut: “Jumlah turis yang berpotensi merusak sebuah tempat yang dapat diasimilasi tanpa kerusakan jangka panjang dan dapat
diukur dengan jumlah turis yang menggunakan tempat tersebut untuk menentukan apakah
daya dukung sosial telah terlampaui dan lokasi dimaksud telah digunakan melampaui
kapasitasnya (over utilized)” (Patterson, 2005).
Analisis Jejak Ekologis berawal dari
analisis daya dukung penduduk yang ditentukan di dalam suatu wilayah tertentu. Analisis
Jejak Ekologis telah digunakan untuk mendefinisikan daya dukung ekologis untuk
destinasi turis di New Zealand.
Zhao, et al; (2005) mengatakan bahwa jejak ekologis memiliki akar yang kuat di
dalam konsep daya dukung lingkungan. Sebagaimana telah didefinisikan oleh ahli-ahli
biologi, daya dukung adalah sejumlah individu dari species tertentu yang dapat didukung
dalam suatu habitat tertentu tanpa merusak ekosistem secara permanen (Odum, 1989; Rees,
1992).
Apabila populasi dari species tersebut telah melebihi daya dukung habitatnya, maka
yang terjadi adalah sumberdaya yang dibutuhkan oleh spesies tersebut bagi kelangsungan
hidupnya akan mengalami deplesi, atau limbah yang diproduksi species tersebut
menumpuk dan meracuni anggota species, atau akan terjadi keduanya, dan populasi pun
akan punah. Daya dukung ekologis adalah beban maksimum yang dapat didukung secara
terus menerus oleh lingkungan (Catton, 1986). Daya dukung tidak akan berkelanjutan
kecuali bila didasarkan pada penggunaan sumberdaya dalam cara yang bisa terbarukan
(renewable way).
Sintesis dari berbagai definisi tentang jejak ekologis dan dayadukung tersebut, maka
peneliti mendefinisikan jejak ekologis zona industri sebagai berikut : “Jejak Ekologis/ Appropriated Carrying Capacity sebuah zona industri adalah jumlah luas lahan yang
dipakai dan ekivalen (lahan, air, daya tampung limbah) yang diperlukan untuk mendukung
kegiatan zona industri tersebut, tanpa menyebabkan kerusakan yang serius dan tak
terpulihkan pada lingkungan alam di zona industri dimaksud. Konsep daya dukung industri
didefinisikan sebagai level/tingkat maksimum dari kegiatan industri Genuk, yang dapat
didukung oleh lingkungan di Kecamatan Genuk tanpa menyebabkan kerusakan serius dan
tak terpulihkan pada lingkungan alam. Konsep jejak ekologis sangat berhubungan erat
dengan konsep daya dukung ekologis.
Jejak ekologis diekspresikan dalam ha/kapita,
sedangkan dayadukung ekologis biasanya diekspresikan dalam unit kapita/ha, sehingga
membuat konsep tersebut seolah-olah saling berlawanan satu sama lain (Bicknell, Ball,
Cullen, Bigsby, 1998). Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep
dayadukung lingkungan adalah analisis lingkungan yang dilakukan di dalam zona industri
secara ‘on-site/in-situ’ (luas lahan, kesesuaian lahan, sumberdaya alam dan energi yang
dipakai oleh aktivitas industri serta asimilasi limbahnya), sedangkan konsep jejak ekologis
merupakan analisis ‘off-site/ex-situ’ yang meliputi ekivalen luas lahan (appropriated) yang
diperlukan akibat dari aktivitas industri dimaksud, dengan kategori : lahan pertanian,
padang rumput, hutan, area terbangun (built up area), lautan dan lahan energi fosil (CO2-
sink land).
Perspektif Teoritis Analisis Jejak Ekologis
Penelitian Wada (1999) mengemukakan implikasi penting dari teori termodinamika
bagi ilmu ekonomi, yang merupakan alasan mengapa ekonomi neoklasik konvensional
40
tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk mengukur keberlanjutan ekologis, dan mengapa
konsep ‘jejak ekologis' merupakan alternatif yang amat berguna untuk analisis ekonomi
ekologi (economic mainstream).
Hukum Pertama Termodinamika yang dikenal juga sebagai Hukum Konservasi
Materi dan Energi (Georgescu-Roegen 1971 dalam Wada, 1999)), menyatakan bahwa
dalam sistem tertutup jumlah total massa atau energi akan tetap sama, meskipun salah satu
massa atau energi tersebut mungkin telah berubah menjadi bentuk lain. Lebih lanjut Ehrlich
(1993) menyatakan : “Jika energi di dalam suatu bentuk atau suatu tempat menghilang,
jumlah yang sama harus muncul dalam bentuk lain atau di tempat lain. Dengan kata lain,
meskipun transformasi dapat mengubah distribusi jumlah energi di antara berbagai
bentuknya, namun jumlah total energi, ketika semua bentuk diperhitungkan, akan tetap
sama. Dengan kata lain "materi dan energi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan."
Hukum pertama telah memberikan dasar teoritis, yaitu prinsip keseimbangan energi untuk
perhitungan penggunaan sumber daya. Ayres (1978) menyatakan: “Apa yang disebut
prinsip keseimbangan energi, adalah bagian nilai total bahan dan energi yang diambil dari
lingkungan alam sebagai bahan baku harus seimbang dengan jumlah total bahan dan energi
yang kembali ke lingkungan sebagai arus limbah, dikurangi akumulasi dalam bentuk
saham/ modal sumberdaya alam dan produk persediaan”.
Hukum Kedua Termodinamika (Hukum Entropi) yang ditemukan oleh Rudolf
Clausius pada tahun 1865, seorang ahli fisika Jerman, memberikan kontribusi signifikan
terhadap kemajuan hukum Termodinamika dan menemukan konsep entropi, mendasarkan pada para ilmuwan terdahulu (Wada, 1999).
Hukum Kedua Termodinamika disebut sebagai
Hukum Entropi atau Hukum Peningkatan Entropi. Entropi adalah ukuran penyebaran panas
atau bahan (pada tingkat molekuler). Sebuah entropi s dari panas misalnya, dinyatakan
oleh persamaan sebagai berikut:
s = q / T (kilokalori / Kelvin).................................................................................. (1)
dengan nilai panas q kilokalori dan pada T ° K (Kelvin, yang merupakan skala absolut
suhu) (Murota, 1989 dalam Wada, 1999).
Lebih lanjut William Rees (1992) menjelaskan interpretasi moderen dari hukum
kedua termodinamika sebagai berikut. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa
‘entropi’ dari setiap sistem yang terisolasi secara spontan akan meningkat. Artinya,
konsentrasi materi tersebar, energi yang tersedia tidak teratur, gradien menghilang, dan
urutan yang struktural dan integritas akan rusak. Akhirnya, ada suatu titik di dalam sistem
yang dapat dibedakan dari yang lain (Rees, 1997).
Implikasi Hukum Kedua Termodinamika bagi Aktivitas Manusia
Wada (1999) mengatakan, aktivitas (ekonomi) manusia sangat kompleks, jauh dari
ekuilibrium, dan mengorganisir sistem sendiri, sama seperti sistem kehidupan yang lain.
Dengan demikian, perekonomian manusia (human economy) juga "tunduk pada hukum
kedua termodinamika "(Rees 1998). Perbedaan utama antara ekonomi manusia dan sistem
hidup lainnya adalah bahwa ekonomi manusia tidak hanya melakukan metabolisme
biologis, tetapi juga 'metabolisme industri' (Ayres dan Simonis, 1994 dalam Wada, 1999).
42
Meskipun ada perbedaan, ekonomi manusia masih diatur oleh hukum peningkatan entropi.
Implikasi umum dari hukum kedua termodinamika untuk ekonomi manusia pertama kali
diperkenalkan oleh Soddy (1912, 1926, 1934) yang dikutip oleh Wada (1999). Energi
memasuki proses ekonomi dalam keadaan entropi rendah dan keluar dari sistem itu dalam
keadaan entropi tinggi.
Tsuchida dan Murota (1987) dalam Wada (1999) juga menjelaskan
implikasi hukum entropi sebagai berikut : "Konsumsi pada umumnya setara dengan
timbulnya entropi dan produksi selalu diikuti dengan konsumsi yang menyebabkan
terjadinya peningkatan entropi pada sistem tertentu secara keseluruhan."
Penting untuk dicatat bahwa "gambaran positif" selalu disertai oleh sesuatu yang
"negatif". Artinya, sepanjang sisi proses pembuatan yang diinginkan, penciptaan produk
limbah atau emisi entropi tinggi ke lingkungan selalu terjadi (Gambar). Setelah energi
/bahan bakar dibakar, entropi tinggi limbah panas dan asap akan dipancarkan ke lingkungan.
Kita tidak dapat dengan mudah mengubah mereka kembali ke bentuk asli entropi rendah
(walaupun masih mungkin untuk melakukannya, namun perlu adanya tambahan entropi
energi rendah dan materi yang akan secara bersamaan menyebabkan peningkatan lebih
lanjut entropi secara total). Terlepas dari kenyataan bahwa gambaran negatif selalu muncul
setiap kali gambar positif berlangsung, kelangsungan hidup manusia dapat dipertahankan
(Gambar).
Gambaran Termodinamika dari Sebuah Proses Produksi (Wada, 1999) dengan
modifikasi
Hal ini menurut Wada (1999) hanya mungkin bila ekosfer memiliki sistem satu tingkat
lebih tinggi dari pada sistem kehidupan manusia dan menyediakan pendukung kehidupan
dan layanan yang sangat diperlukan bagi manusia. Layanan tersebut meliputi penyediaan
energi dengan entropi rendah, dan penyerapan limbah dengan entropi tinggi.
Seperti yang dikatakan Rees (1998), melalui interpretasi hukum entropi, bahwa
ekonomi hanyalah satu tingkat di dalam hirarki sistem di mana kelangsungan hidup setiap
sub sistem tergantung pada produktivitas sistem di atasnya. Hubungan ini tidak mengalami
masalah baik bagi ekonomi atau ekosfer, selama konsumsi bahan dan limbah yang
dihasilkan tidak secara signifikan melebihi produksi sumber daya dan asimilasi limbahnya (Rees 1998).
Namun, ketika keseimbangan ini hilang, maka muncullah masalah
lingkungan. Daly (1991) dikutip oleh Wada (1999) menjelaskan bahwa limbah dengan
entropi tinggi sering mengganggu fungsi modal alam dan menghambat layanan pendukung
kehidupan yang diberikan oleh udara, air, dan tanah. Polusi juga menghambat kemampuan
modal buatan manusia untuk memberikan pelayanannya. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Wada (1999), bahwa prinsip keseimbangan tersebut didasarkan pada pengakuan
terhadap hukum kedua termodinamika, dan merupakan keharusan yang sangat penting bagi
aspek keberlanjutan. Jika tidak, kegiatan manusia tidak akan dapat bertahan akibat
berkurangnya kemampuan ekosfer dalam penyediaan jasa pendukung kehidupan.
Analisis Jejak Ekologis sebagai Instrumen untuk Menghitung Daya
dukung Lingkungan
Menurut Wackernagel dan Rees (1996), Jejak Ekologis adalah “A tool for Planning
Toward Sustainability”. Jejak ekologis adalah instrumen untuk menghitung (accounting
tool), yang memungkinkan bagi kita untuk mengestimasikan kebutuhan manusia terhadap
konsumsi sumberdaya dan asimilasi limbah pada sejumlah populasi manusia atau ekonomi,
berkenaan dengan lahan produktif yang sesuai (Wackernagel & Rees, 1996).
Jadi Jejak
Ekologis merupakan ukuran “beban/muatan” dari sejumlah populasi tertentu terhadap
lingkungan alam. Hal ini mencerminkan luas lahan yang diperlukan untuk mendukung
tingkat konsumsi sumberdaya serta pembuangan limbah yang dilakukan oleh populasi
tersebut. Jejak Ekologis dan Biocapacity adalah nilai-nilai yang dinyatakan dalam satuan yang saling terpisah dari suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan layanan
ekosistem setiap tahun seperti lahan pertanian untuk penyediaan bahan makanan nabati dan
produk serat; tanah penggembalaan dan lahan pertanian untuk produk hewan; area
perikanan (laut dan darat) untuk produk ikan; hutan untuk kayu dan hasil hutan lainnya;
lahan untuk mengakomodasi penyerapan karbon dioksida antropogenik (jejak karbon), dan
wilayah terbangun (built-up area) untuk tempat tinggal dan infrastruktur lainnya (Galli et
al; 2012).
Sebagai hasil dari teknologi maju dan perdagangan dunia, lokasi ekologi bagi
populasi manusia tidak lagi berkaitan dengan lokasi geografisnya. Pada kondisi saat ini,
kota dan wilayah tergantung pada produktivitas ekologis dan fungsi penunjang kehidupan
dari tempat yang jauh di seluruh dunia. Namun demikian, bagi seluruh aliran material dan
energi, harus ada ekosistem dan wadah penerima limbah (sinks) yang berkaitan, dan harus
tersedia sumber air dan lahan produktif yang menyokong aliran material dan energi tersebut.
Konsep jejak ekologis merupakan estimasi berdasarkan sumber daya alam pada
wilayah tertentu serta aliran pelayanan yang dibutuhkan guna menyangga pola konsumsi
suatu populasi, jumlah sumber daya yang digunakan beserta limbah yang dihasilkannya.
Konsep ini merupakan alat untuk menghitung seberapa besar penggunaan sumber daya
alam oleh manusia, agar supaya dapat dihemat/dikurangi.
Menurut Kajian Jejak Ekologis di
Indonesia (2010), perhitungan jejak ekologis didasarkan pada asumsi sebagai berikut.
- Memungkinkan untuk merunut seluruh sumber daya yang dikonsumsi dan limbah
yang dihasilkan ;
- Sebagian besar arus sumber daya dan limbah dapat diukur dari segi wilayah
produktif biologisnya yang diperlukan untuk mempertahankan arus sumberdaya
(flow). Sumberdaya dan arus limbah yang tidak dapat diukur dikecualikan dari
penilaian.
- Dengan membobot bioproduktivitas setiap daerah secara proporsional, berbagai
jenis daerah dapat dikonversi ke dalam unit umum hektar global (gha) yaitu hektar
dengan rata-rata bioproduktivitas dunia.
- Luasan bioproduktif yang berbeda dapat dikonversi menjadi satu ukuran tunggal,
yaitu hektar global (gha). Setiap hektar global pada satu tahun mencerminkan
bioproduktif yang sama dan dapat dijumlahkan untuk memperoleh suatu agregat
indikator jejak ekologis atau biokapasitas.
- Permintaan manusia terhadap sumberdaya alam yang dinyatakan sebagai Jejak
Ekologis, bisa langsung dibandingkan dengan pasokan alam dan biokapasitasnya
(biocapacity/supply), ketika keduanya dinyatakan dalam satuan hektar global (gha).
- Luas wilayah yang dibutuhkan (human demand) dapat melebihi wilayah
pasokannya (nature’s supply), jika permintaan terhadap suatu ekosistem melebihi
kapasitas regeneratif ekosistem tersebut (misalnya, masyarakat menuntut
biokapasitas yang lebih besar terhadap areal hutan, atau perikanan).
Jejak ekologis menunjukkan daerah dengan air dan lahan produktif yang diperlukan untuk
memproduksi sumber daya yang dikonsumsi, dan menjerap limbah yang dihasilkan, pada
populasi tertentu, menggunakan teknologi yang tersedia. Luasan jejak tergantung dari besaran populasi, standar kehidupan, teknologi yang dipakai, serta produktivitas lingkungan.
Untuk kebanyakan negara industri, jejak ekologis nasional melebihi apa yang disediakan
secara lokal. Artinya mereka mengalami “defisit lingkungan”. Namun, jejak ekologis tidak
akan sama besarnya dan oleh karenanya daya dukung secara global yang cocok untuk
negara industri maju, belum tentu pas bagi negara lain (Wackernagel, 1999). Jadi, bagi
setiap orang yang mengkonsumsi 3 kali lipat dari jumlah yang tersedia, maka terdapat 3
orang lainnya yang hanya menggunakan sepertiga dari rata-rata konsumsi mereka.
Terdapat 6 kategori utama dalam menghitung produktivitas lahan, yaitu :
- Lahan subur – lahan produktif yang digunakan untuk pembudidayaan;
- Padang rumput – lahan penggembalaan untuk ternak lembu dan susu, yang kurang
begitu subur;
- Hutan – perkebunan atau hutan alami yang menghasilkan kayu;
- Lahan energi fosil – wilayah hutan yang dilindungi untuk absorpsi CO2;
- Daerah terbangun (built up area) – penggunaan lahan bagi permukiman, jalan, yang
biasanya berlokasi di lahan subur;
- Laut – menyediakan produksi laut guna menambah kebutuhan pangan manusia.
Konsep jejak ekologis telah dikritisi karena metodologi yang dipakai kurang lengkap (Cox,
2000, 2004 dan Pearce 2005). Dasar perhitungan jejak ekologis adalah menggunakan lahan
atau laut yang secara biologis produktif, yang diperlukan untuk menopang kehidupan
sejumlah populasi tertentu. Namun pada kenyataannya, kondisi populasi manusia dan
sumber daya alam tidaklah konstan, dan perhitungan lahan produktif cukup sulit karena harus membuat penilaian terhadap tingkat produktivitasnya. Selanjutnya, penggunaan
teknologi secara signifikan dapat meningkatkan produktivitas lahan, sebaliknya aktivitas
manusia dan teknologi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap produktivitas lahan.
Formula Jejak Ekologis dapat dilihat pada Gambar.
Kegiatan manusia tergantung pada biosfer, yang menyediakan terus menerus
sejumlah besar sumber daya untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kehidupan
sehari-hari serta tempat untuk menampung bahan limbah yang dihasilkan (Ouyang, 1999).
Konsumsi sumber daya alam yang berdampak pada ekosistem alam didefinisikan sebagai
"jejak ekologis".
Gambar Formula Jejak Ekologis (Rees & Wackernagel, 1996)
Jejak ekologis adalah jejak "kaki besar" yang merupakan beban sejumlah penduduk
di kota-kota dan pabrik-pabrik yang diciptakan manusia (Rees, 1996). Ide analisis jejak
ekologis adalah bahwa manusia mengkonsumsi berbagai produk, sumber daya dan
pelayanan untuk bertahan hidup, sehingga jumlah konsumsi setiap materinya dapat dirunut
ke belakang sebagai lahan ekologis produktif yang menyediakan substansi primer dan
energi. Dengan teknologi yang digunakan, secara ekologis lahan produktif wilayah yang
mempertahankan populasi tertentu di bawah gaya hidup tertentu disebut sebagai jejak
ekologis permintaan (EF demand). Jejak ekologis pasokan (juga dinamakan sebagai daya
dukung ekologis) adalah ekologis luas lahan produktif yang tersedia. Jika JE permintaan
kurang dari JE pasokan, itu berarti bahwa pola pembangunan ekonomi dan sosial
berkelanjutan, sebaliknya, jika JE permintaan lebih besar dari JE penyediaan, pola
pembangunan menjadi tidak berkelanjutan.
Zona industri adalah wilayah di mana aktivitas manusia terkonsentrasi secara
intensif dan ekosistem alam menerima banyak tekanan. Jejak ekologis zona industri dapat
didefinisikan sebagai lahan produktif secara ekologis, yang mendukung aktivitas zona
industri. Ekosistem adalah sistem terbuka dan pertukaran zat, energi dan informasi dengan
sistem eksternal untuk mempertahankan taraf hidup dan kualitas kehidupan manusia.
Dengan kata lain, lahan produktif secara ekologis untuk mempertahankan pengembangan
zona industri termasuk pasokan yang tidak hanya dari sistem perindustrian itu sendiri,
tetapi juga dari sistem eksternal. Akibatnya, umumnya, jejak ekologis permintaan dari zona
industri lebih besar dari penyediaan lahan produktif secara ekologis. Dari sudut pandang ini, sebuah zona ekologi industri dapat didefinisikan sebagai zona di mana jejak ekologis lebih
kecil daripada zona yang lain dengan fungsi perindustrian normal dan kualitas hidup yang
baik bagi warganya. Oleh karena itu, perhitungan dan analisis jejak ekologis zona industri
dapat digunakan untuk menilai tingkat tekanan terhadap ekosistem alam akibat aktivitas
manusia di zona industri tersebut (Shen, 2001).
a) Jejak ekologis Permintaan (EF Demand)
Perhitungan jejak ekologis didasarkan pada dua hipotesis:
- Diketahuinya jumlah
sumber daya yang dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan;
- Sumber daya yang
dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan dapat dikonversi menjadi lahan produktif secara
ekologis.
Oleh karena itu, Jejak ekologis dari zona industri, kota, orang atau bangsa adalah
luas lahan yang menyediakan berbagai sumber yang memberikan dukungan kehidupan dan
menyerap limbah manusia.
Rumus perhitungan JE demand adalah sebagai berikut.
EF adalah jejak ekologis total, N merupakan populasi, ef adalah jejak ekologis per kapita,
ci adalah konsumsi quatity per kapita untuk i produk, pi adalah produktivitas rata-rata untuk
i produk, AAI adalah luas tanah bio-fisik per kapita untuk i produk, rj merupakan faktor
setara. Karena produktivitas lahan yang subur, energi fosil, padang rumput dan hutan
berbeda secara signifikan, diperlukan untuk memperbanyak faktor kesetaraan (berat)
dengan luas lahan bio-produktif untuk mengubahnya menjadi lahan seragam dan sebanding
bio-produktif, j merupakan jenis ekologis lahan produktif. Untuk perhitungan EF, terdapat 6 jenis lahan produktif secara ekologis, yang merupakan energi fosil tanah, lahan pertanian,
hutan, padang, daerah built-up, dan laut.