Pengertian Peserta Didik
Peserta didik merupakan bagian dalam sistem pendidikan Islam, peserta didik adalah
objek atau bahan mentah dalam proses transformasi pendidikan. Tanpa adanya
peserta didik, keberadaan sistem pendidikan tidak akan berjalan. Karena kedua
faktor antara pendidik dan peserta didik merupakan komponen paling utama dalam suatu
sistem pendidikan.
Secara bahasa peserta didik adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan
dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan
merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.
Pertumbuhan yang menyangkut fisik, perkembangan menyangkut psikis.
Abdul Mujib (2006:103) mengatakan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang
masa”, maka istilah yang lebih tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah
peserta didik bukan anak didik.
Lebih lanjut Abdul Mujib mengatakan peserta didik cakupannya sangat luas, tidak
hanya melibatkan anak-anak tetapi mencakup orang dewasa. Sementara istilah anak didik
hanya mengkhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik
mengisyaratkan tidak hanya dalam pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan
sebagainya tetapi penyebutan peserta didik dapat mencakup pendidikan non formal seperti
pendidikan di masyarakat, majlis taklim atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya.
Lain halnya dengan Ahmad Tafsir (2006:164-165) berpendapat bahwa istilah untuk
peserta didik adalah murid bukan pelajar, anak didik atau peserta didik. Beliau berpendapat
bahwa pemakaian murid dalam pendidikan mengandung kesungguhan belajar, memuliakan
guru, keprihatinan guru terhadap murid. Dalam konsep murid ini terkandung keyakinan
bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam perbuatan mengajar dan belajar terdapat
keberkahan tersendiri. Pendidikan yang dilakukan oleh murid dianggap mengandung
muatan profane dan transcendental.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengatakan, sebutan murid lebih umum sama halnya dengan
penyebutan anak didik dan peserta didik. Istilah murid memiliki ciri khas tersendiri dalam ajaran Islam. Istilah murid ini pertama kali diperkenalkan oleh kalangan sufi. Istilah murid
dalam taSawuf mengandung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan
sedang berjalan menuju Tuhan. Hubungan antara guru dan murid adalah hubungan searah.
Pengajaran berlangsung dari subjek (guru) ke objek (murid). Dalam ilmu pendidikan hal
seperti ini disebut pengajaran berpusat pada guru.
Murid dalam pengertian pendidikan umum adalah ialah tiap kelompok atau sekelompok
individu yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan
kegiatan pendidikan. Murid dalam pengertian pendidikan secara khusus adalah anak yang
belum dewasa yang menjadi tanggung jawab pendidik (Barnadib, 1989:1).
Abuddin Nata (2005:131) mengatakan dari segi kedudukannya, anak didik adalah
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut
fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten
menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dalam pandangan lebih moderen,
anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan harus
perlakukan sebagai subjek pendidikan. Karena hal ini dilakukan dengan cara melibatkan
mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Menurut Muhammad Abduh peserta didik adalah semua orang, baik laki-laki ataupun
perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan dalam hal pendidikan. Hal ini
sejalan dengan dengan sabda Rasulullah Saw:
Artinya:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim" (HR. ath-Thabrani melalui Ibnu Mas’ud ra).
Hadist di atas, walaupun tidak memakai kata muslimah, mencakup pula perempuan
sesuai dengan kebiasaan teks al-Quran dan sunnah yang menjadi redaksi berbentuk
maskulin mencakup pula feminim, selama tidak ada indikator yang menghalanginya. Kedati
demikian, Quraish Shihab (2006:356) berpendapat bahwa hadist di atas dinilai lemah
oleh ulama, namun mereka sepakat menyatakan bahwa kandungannya benar dan sejalan
dengan tuntunan al-Quran.
Abdullah Nashih Ulwan (Rahardjo, 1999:59) mengatakan peserta didik adalah
objek pendidikan. Ia merupakan pihak yang harus di didik, dibina dan dilatih untuk
mempersiapkan menjadi manusia yang kokoh iman dan Islamnya serta berakhlak mulia.
Beliau lebih lanjut mengatakan keberhasilan dalam merealisasikan tujuan pendidikan
secara optimal, faktor anak didik harus menjadi perhatian. Dalam hal ini, peserta didik perlu
dipersiapkan sedemikian rupa, agar tidak mengalami banyak hambatan dalam menerima
ajaran tauhid dan nilai-nilai kemuliaan lainnya.
Dari sekian pendapat di atas, peserta didik adalah manusia berjenis kelamin lakilaki
dan perempuan baik anak-anak maupun orang dewasa yang sedang mengalami fase
perkembangan baik secara fisik atau psikis. Proses ini dilakukan dengan cara dididik, dibina
dan dilatih untuk menjadi makhluk yang taat kepada Allah Swt melalui pendidikan Islam.
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Syamsul Nizar sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2006:77) mendeskripsikan enam
kriteria peserta didik adalah sebagai berikut:
- Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi ia memiliki dunianya sendiri.
Peserta didik memiliki metode belajar mengajar tersendiri, ia tidak boleh dieksploitasi
oleh orang dewasa dengan memaksakan anak didik untuk mengikuti metode belajar
mengajar orang dewasa, sehingga peserta didik kehilangan dunianya;
- Peserta didik memiliki masa atau priodisasi perkembangan dan pertumbuhannya.
Menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokan
menjadi dua kategori. Pertama, kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi
kebutuhan fisik, rasa aman, dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial) dan harga diri.
Kedua, metakebutuhan (meta needs) meliputi aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan dan lain sebagainya;
- Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan antara individu yang satu
dengan individu yang lain baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan
dimana ia berada. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor endogen (fitrah) seperti
jasmani, inteligensi, sosial, bakat dan minat sedangkan faktor eksogen (lingkungan)
dipengaruhi oleh pergaulan dan pengajaran yang di dapatkan di lingkungan ia berada;
- Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki
daya fisik dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu;
- Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat
manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik
walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan
karsa);
- Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan
dan berkembang secara dinamis (fleksibel).
Senada dengan pernyataan di atas, Syaiful Bahri Djamarah (2000:51-52) mengatakan
bahwa peserta didik memiliki karakteristik-karakteristik yang penting untuk diperhatikan.
Karakter-karakter tersebut antara lain:
- Belum menjadi orang dewasa, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik;
- Masih menyempurnakan aspek tertentu untuk menyempurnakan kedewasaannya;
- Memiliki sifat dasar yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis,
rohani, sosial, intelegensi, emosi dan sebagainya.
Pendapat Syaiful tersebut cenderung menempatkan pendidikan dari pendekatan
pedagogis. Dalam pendekatan pedagogis peserta didik lebih ditempatkan sebagai sosok
yang sangat membutuhkan pendidik untuk mengembangkan potensinya. Oleh karena itu
peserta didik diposisikan sebagai anak didik.
Setiap manusia memiliki perkembangan termasuk peserta didik.
Dalam kehidupannya
manusia mengalami beberapa tahapan perkembangan sebagai berikut :
1. Al-Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan. Allah Swt berfirman :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
apa-apa dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan daya nalar agar kamu
bersyukur" (Q.S. An-Nahl:78).
2. Al-Thiflu, yaitu tingkat anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan, sehingga
mengetahui baik dan buruk;
3. Al-Tamyiz, yaitu tingkat anak yang sudah dapat membedakan yang baik dengan yang
buruk, akal pikirannya sudah berkembang;
4. Al-Aqli, yaitu tingkat manusia yang telah berakal sempurna;
5. Al-Auliya dan Al- Anbiya yaitu tingkat tertinggi perkembangan manusia (Al-Abrasyi,
1970:34-44).
Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau periode
perkembangannya, karena faktor usia dapat menentukan tingkat pengetahuan, intelektual,
emosi, bakat, minat peserta didik dalam perspektif biologis, psikologis, maupun dedaktis.
Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesisasi manusia pada dasarnya
dapat dibagi menjadi lima tahapan:
- Tahap asuhan (dari usia 0 sampai 2 tahun) yang disebut dengan fase neonatus dimulai
dari kelahiran sampai kira-kira usia 2 tahun;
- Tahapan pendidikan jasmani dan pelatihan pancaindra (dari usia 2 sampai 12 tahun),
yang lazim disebut fase kanak-kanak (al-thifl/shabi) yaitu mulai masa neonatus sampai
pada masa polusi mimpi basah (baligh);
- Tahap pembentukan watak dan pendidikan agama ( usia 12 samapi 20 tahun), fase ini
disebut dengan tamyiz, yaitu fase dimana anak-anak mulai mampu membedakan yang
baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Karena pada fase ini peranan akal
sangat dibutuhkan;
- Tahap kematangan (usia 20 sampai 30 tahun) pada tahap ini, seseorang telah menjadi
dewasa. Dewasa yang berarti sebenarnya, mencakup kedewasaan biologis, sosial,
psikologis dan kedewasaan religious;
- Tahap kebijaksanaan (usia 30 sampai meninggal), fase ini disebut dengan azm al-umr
‘lansia’ (lanjut usia) atau syuyuukh (tua). Pada tahap ini manusia telah menemukan jati
dirinya yang hakiki, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu
memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain (Abdul Mujib, 1999:106-112).
Burhanudin Salam (2002:69-73) mengemukakan berbagai pendapat para ahli terutama
ahli Barat yang berpendapat bahwa usia perkembangan individu tidaklah sama, misalnya
Erikson membatasi tahap perkembangannya adalah:
1. 0,0 – 12 bulan tahap : “the sense of trust”.
Fase ini merupakan fase sadar akan kepercayaan, yaitu mempercayai bahwa segala
kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Sikap percaya ini muncul karena sejak lahir telah
diliputi oleh suasan kasih sayang dan kemesraan yang diberikan oleh lingkungannya,
dalam hal ini oleh ibu, ayah, dan seluruh anggota keluarga yang lainnya.
Sadar akan kepercayaan itu penting, karena merupakan dasar bagi kepercayaan terhadap
diri sendiri dan kepercayaan terhadap orang lain. Bila tidak dapat mengembangkan
kesadaran akan kepercayaan ini maka dalam hidupnya kelak timbul gejala kurang dapat
menghayati kebaikan dan kebahagiaan dalam hidupnya, mudah gelisah, marasa kurang
disayangi dan kurang menyayangi, kurang percaya diri dan kurang dapat mempercayai
orang lain.
2. 1,5 – 3 tahun disebut : “the sense of autonomy”.
Fase ini merupakan fase sadar akan keberdirian sendiri, yaitu sadar bahwa ia mempunyai
perasaan dan kepribadian yang mandiri, ia telah sadar bahwa ia dapat hadir seperti
kehadirannya yang lain.
Dalam hal itu pendidik haruslah mendukung perasaannya dan perlakukanlah dengan
toleransi, penghargaan, dan penghormatan. Jauhkanlah sifat pendidik yang dapat
menimbulkan perasaan meremehkan keberadaan dan merasa dipermalukan.
3. 3,5 – 5,5 tahun disebut :”the sense of initiative”
Fase ini merupakan fase sadar akan berprakarsa, yaitu anak ingin bebas dalam
mengembangkan kemampuan yang tersimpan dalam dirinya, anak ingin meniru,
mencoba, berfantasi, kreatif, dan berinisiatif.
Pada fase ini anak membutuhkan dorongan, penghargaan, dan dukungan dari pendidik,
maka hindarkanlah perbuatan pendidik yang bersifat menekan terhadap anak.
4. 6,0 – 12 tahun disebut : “the sense of accomplishment”
Fase ini merupakan fase sadar akan penyelesaian tugas, yaitu anak rajin dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Dalam fase ini pendidik harus mengarahkan supaya anak
jangan kekurangan tugas sebagai tantangannya, dan tugas itu jangan yang terlampau
membebani sehingga mengakibatkan anak putus asa.
5. 12 – 18 tahun disebut : “the sense of identity”
Fase ini merupakan fase sadar akan keyakinan bentuk dirinya, yaitu mencari keyakinan
dan mencoba mengidentifikasikan dirinya melakukan peran dan tokoh yang dianggap
baik dan mendekati dirinya. Ia menilai dirinya baik dari segi norma, sifat-sifatnya,
maupun hubungan dengan orang lain karena merasa diperhatikan, karena itu selalu
berusaha menunjukkan identitasnya sendiri.
6. 18 - ..tahun disebut : “intimacy, generativity, and integrity”
Intimacy merupakan fase kekariban yang bentuknya seperti mengungkapkan cita-cita,
kepemimpinan, perjuangan, dan persaingan.
Generativity merupakan fase siap untuk berketurunan, ia mampu untuk berkeluarga,
mampu mengurus suami atau istri dan anak-anaknya.
Integrity merupakan fase keutuhan kepribadian, ia telah mampu menerima dirinya dan
orang lain serta berkejiwaan stabil dalam menghadapi peristiwa dalam kehidupan.
Pembagian masa perkembangan yang lainnya dari berbagai kalangan ialah:
a. Dari Aristoteles (324-322 SM)
- 0,0-7,0 disebut masa keluarga atau masa kanak-kanak
- 7,0-14,0 disebut masa sekolah
- 14,0-21,0 disebut masa pekerjaan
b. Dari Kohnstamm
- 0,0-1,6 masa vital
- 1,6-7,0 masa estetis
- 7,0-14,0 masa intelek
- 14,0-18,0 masa puber
- 18,0-21,0 masa adolesnes disebut juga masa sosial
Masa vital erat hubungannya dengan kebutuhan hidup (vital=hidup). Masa estetis
anak sangat tertuju kepada keindahan berdasarkan fantasinya, misalnya: menggambar,
memberi warna, membentuk sesuatu. Masa intelek yaitu berminat pada kenyataan, anak
haus akan kenyataan, pengetahuan, sifat menyelidiki sangat besar. Masa sosial, anak mulai menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mencurahkan perhatiannya kepada
masyarakat, membentuk perkumpulan pemuda.
c. Dari Charlotte Buhler
- 0,0-0,1 subjektif) Pengenalan dunia luar, reaksi negatif, belajar. Objektif ) berjalan
dan bercakap
- 1,0-4,0 subjektif bermain egosentris – krisis I
- 4,0-8,0 subjektif) tumbuh rasa tanggung jawab, rasa sosial
- 8,0-13,0 objektif) mulai krisis II
- 13,0-19,0 subjektif) pubertet strum und drang
- Dari Hurlock (1951)
- Conception - 280 day prenatal
- 0,0 - 10 to 14 day infancy
- 2 week - 2 year babyhood
- 2 year -13 year childhood
- 13 (girl) - 21 year adolescence
- 14 (boy) - 21 year adolescence
- 21 year - 25 year adulthood
- 25 year - 30 year meddle age
- 30 year - death old age
d. Dari Piaget (1961)
- 0-2 year sensorimotor
- 2-6 year preoperational
- 2-4 year a. preconceptual
- 4-6 year b. intuitif
- 6-10 year concrete operation
- 11-13 year formal operation.
e. Dari Wtherington (1952)
- 0,0 – 3,0 perkembangan fisik
- 3,0 – 6,0 perkembangan mental
- 6,0 – 9,0 perkembangan sosial
- 9,0 – 12,0 perkembangan sikap individualism
- 12,0 – 15,0 awal penyesuaian sosial
- 15,0 – 16,0 awal pilihan kecenderungan pola hidup yang akan diikuti sampai dewasa.
f. Dari Erickson (1963)
- 0,0 – 12 bulan the sense of trust
- 1,6 – 3 tahun the sense of autonomy
- 3,6 – 5,6 tahun the sense of initiative
- 6,0 – 12 tahun the sense of accomplismen
- 12,0 – 18 tahun the sense of identity
- 8,0 - -- ) intimacy
- Generativity
- Integrity
Kepribadian Peserta Didik
Dalam setiap jiwa manusia memiliki keperibadian yang berbeda-beda, Allport
mendefinisikan keperibadian sebagai susunan yang dinamis dalam sistem psiko-fisik
(jasmani dan rohani) hal inilah yang menandakan dan membedakan antara satu individu
dengan indivu lainya. Lain halnya dengan Hartmann mendefinisikan keperibadian sebagai
susunan yang terintegrasikan dalam corak khas yang tegas yang memperhatikan kepada
orang lain.
Berdasarkan definisi di atas, Ramayulis (2006:110-111) mengutip pernyataan
Wetherington menyimpulkan bahwa keperibadian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Manusia pertama kali hanyalah sebagai sosok individu (perorangan) kemudian barulah
merupakan suatu pribadi disebabkan pengaruh belajar dan lingkungan sosialnya;
- Keperibadian adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara
terintegrasi dan bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu;
- Kata keperibadian menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pada pikiran orang
lain dan isi pikiran itu ditentukan oleh nilai perangsang sosial seseorang;
- Keperibadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statistik, seperti bentuk badan
atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang;
- Keperibadian tidak berkembang secara pasif, tetapi setiap orang mempergunakan
kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri kepada lingkungan sosial.
Pendapat di atas merupakan teori psikologi Barat yang banyak dipengaruhi oleh falsafat
materialistis yang menjadikan kekayaan benda menjadi tujuan hidup. Kalaupun mereka
menyebut tentang Tuhan, agama dan keyakinan dalam teorinya, tetapi semuanya itu
terpisah dari pergaulan dan tata laksana kegiatan duniawi. Fungsi agama menurut mereka
hanya bersifat seremonial semata.
Berbeda halnya dengan konsep ajaran Islam mengenai kepribadian seorang muslim
sebagai muslim yang berbudaya, yang patuh dan taat kepada Allah Swt dalam perbuatan
dan tingkah laku hidupnya tanpa batas akhir. Seorang muslim hidup dalam lingkungan yang
luas tanpa batas ke dalamnya, tanpa akhir ketinggiannya. Dan lebih utama lagi kepribadian
seorang muslim haruslah dapat memahami makna-makna ayat al-Quran.
Dalam kepribadian seorang muslim, manusia harus dapat mengembangkan dirinya
dengan bimbingan dan petunjuk Ilhai, dalam rangka mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi, dan selalu melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah untuk selalu
melakukan pengabdiannya.
Keperibadian anak didik dijelaskan oleh Abuddin Nata (2006:136) yang mengutip
pendapat Thasyi Kubra Zaedah mengatakan bahwa seorang peserta didik tidak
diperbolehkan menilai rendah atau menganggap tidak penting terhadap ilmu pengetahuan
yang ia tidak kuasai ataupun tidak ia senangi. Sebaliknya, peserta didik harus menggangap
bahwa ilmu yang tidak dikuasainya itu sama manfaatnya dengan ilmu yang ia miliki.
Beliau lebih lanjut menyatakan bahwa, peserta didik tidak diperbolehkan mengikuti
teman-temannya yang kurang pintar (ungkapan bodoh, tolol bukanlah kriteria pendidik
yang baik) tetapi ia harus bisa membimbing peserta didik lainnya mencintai semua ilmu.
Selain itu juga, keperibadian peserta didik harus bertekad untuk selalu belajar tanpa henti
sampai akhir hayatnya dan bertekad untuk mencari ilmu walaupun ia harus meninggalkan
kampung halamannya. Dengan demikian, ilmu yang diperolehnya akan semakin berkembang
dan ia akan memiliki wawasan yang luas serta tidak berpikiran sempit dengan kata lain ia
tidak akan merasa benar terhadap ilmu yang dimilikinya saja.
Kepribadian peserta didik yang paling penting menurut Athiyah al-Abrasyi yaitu;
Pertama, peserta didik hendaknya tekun dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Kedua, peserta didik haruslah memiliki kepribadian saling menyayangi sesama temanya
yang pada akhirnya akan tercipta suasana persaudaraan yang kokoh.
Ketiga, peserta didik
giat dan tidak perna bosan untuk selalu mengkaji dan mengulang-ulangi materi pelajaran
yang telah diberikannya.
Selain itu juga, keperibadian peserta didik haruslah memelihara hatinya agar selalu
bertaqwa kepada Allah S wt, memohon ampunan hanya kepada Allah Swt, memiliki rasa
takut dan selalu mencari keridhaan-Nya karena hal ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari bagi peserta didik. Dengan memiliki kepribadian seperti ini, peserta didik
akan menjadi mulia, terhormat, memiliki derajat yang tinggi, disegani dan disenangi oleh
semua manusia dan menjadi panutan bagi setiap orang. Hal ini sejalan dengan perkataan
Muhammad bin Ibn Abdullah dalam syairnya;
Artinya:
“Belajarlah, karena ilmu itu adalah hiasan bagi yang memilikinya, keutamaan dan pertolongan
bagi derajat yang terpuji. Dan jadikanlah hari-hari yang dilalui sebagai kesempatan untuk
menambah ilmu, dan berjuanglah dalam meraih segenap keluhuran ilmu.”
Berdasarkan pengertian di atas, peserta didik haruslah memiliki kepribadian yang
mulia, dan menjauhi diri dari akhlak yang buruk seperti kikir, sombong, pengecut, mencela,
merendahkan orang lain dan sifat buruk lainnya. Sebaliknya perserta didik memiliki sifat tawadlu, memelihara diri, menjauhi perbuatan yang tidak bermanfaat, sifat seperti sombong,
kikir, mencela adalah perbuatan yang dilarang oleh tuntunan agama. Untuk menghindari
akhlak buruk seperti ini, peserta didik dituntut untuk mempelajari dan mengetahui ilmu
agama.
Ali bin Abi Thalib khalifah keempat ini memberikan syarat mutlak bagi peserta didik
dalam menuntut ilmu, hal ini merupakan salah satu kebutuhan untuk tercapainya tujuan
pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana diungkapkan dalam syairnya:
Artinya:
“Ingatlah! Engkau tidak akan dapat memperoleh ilmu kecuali melaksanakan enam pekara;
aku akan menjelaskan keenam pekara itu kepadamu, yaitu; kecerdasaan, keinginan yang kuat
(motivasi), sabar, harta benda (modal), selalu dekat dengan guru dan waktu yang panjang.”
Dari perkataan Ali bin Abi Thalib di atas bahwa syarat-syarat untuk mencapai kesuksesan
penuntut ilmu adalah mencakup enam perkara sebagai berikut:
- Memiliki kecerdasaan (dzaka), penalaran, imajinasi, wawasan, pertimbangan, dan
penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kecerdasaan
dapat meliputi kecerdasaan intelektual, kecerdasaan emosional, kecerdasaan moral,
kecerdasaan spiritual dan kecerdasaan qalbiyah atau ruhaniyah.
- Memiliki keinginan yang kuat dalam menuntut ilmu, motivasi, kemauan, gairah yang
tinggi dalam menuntut ilmu. Peserta didik tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang
didapatkannya, ia terus menerus mengkaji dan menggali ilmu pengetahuan, dengan
demikian kualitas keilmuannya setiap saat bertambah.
- Memiliki sifat sabar dalam menuntut ilmu dan ia tidak pernah berputus asa dalam
proses menuntut ilmu. Sifat sabar dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan,
hambatan dan rintangan dari berbagai faktor seperti ekonomi, psikologis, sosiologis,
politik bahkan administratif.
- Memiliki bekal ekonomi dan sarana yang menunjang dalam menuntut ilmu. Faktor
ekonomi sebagai sarana karena dibutuhkan untuk membiayai pendidikan, membeli
peralatan dalam proses belajar, kebutuhan hidup selama proses belajar dan lain
sebagainya.
- Membutuhkan waktu yang panjang, karena untuk memperoleh ilmu pengetahuan
peserta didik membutuhkan proses, aturan dalam sistem pendidikan secara bertahap.
- Pada prinsipnya menuntut ilmu dilakukan sepanjang hayat, syarat ini berimplikasi bahwa
belajar tidak hanya berbentuk formal tetapi meliputi non-formal yang membutuhkan
waktu yang panjang untuk mencapai sebuah kesuksesaan.
Untuk memahami konsep lebih baik lagi, maka berikut ini Anda diminta untuk
mendiskusikan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
- Menurut Ahmad Tafsir peserta didik lebih tepat disebut murid, apa yang menjadi
alasannya ?
- Sebutkan enam kriteria peserta didik menurut Syamsul Nizar !
- Al- Abrasyi menyebutkan lima tahapan perkembangan manusia dalam kehidupannya,
sebutkan !
- Menurut Ramayulis terdapat ciri-ciri kepribadian manusia, sebutkan!
- Menurut Ali bin Abi Thalib syarat-syarat mencapai kesuksesan bagi seorang pencari
ilmu ada enam.
Coba anda jelaskan !
Selanjutnya coba Anda cocokkan hasil diskusi dan jawaban anda itu dengan kunci yang
disediakan di bawah ini !
1) Beliau berpendapat bahwa pemakaian murid dalam pendidikan mengandung
kesungguhan belajar, memuliakan guru. Dalam konsep murid ini terkandung keyakinan
bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam perbuatan mengajar dan belajar terdapat
keberkahan tersendiri. Pendidikan yang dilakukan oleh murid dianggap mengandung
muatan profane dan transcendental.
2)
- Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa .
- Peserta didik memiliki masa atau priodisasi perkembangan dan pertumbuhannya.
- Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan antara individu yang
satu dengan individu yang lain
- Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani
memiliki daya fisik dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu;
- Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia.
- Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis (fleksibel).
3)
- Al-Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan.
- Al- Thiflu, yaitu
tingkat anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan, sehingga mengetahui baik
dan buruk,
- Al- Tamyiz, yaitu tingkat anak yang sudah dapat membedakan yang
baik dengan yang buruk, akal pikirannya sudah berkembang,
- Al- Aqli, yaitu tingkat
manusia yang telah berakal sempurna,
- Al- Auliya dan Al- Anbiya yaitu tingkat tertinggi
perkembangan manusia.
4)
- Manusia pertama kali hanyalah sebagai sosok individu (perorangan) kemudian
barulah merupakan suatu pribadi disebabkan pengaruh belajar dan lingkungan
sosialnya;
- Keperibadian adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara
terintegrasi dan bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu;
- Kata keperibadian menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pada pikiran orang
lain dan isi pikiran itu ditentukan oleh nilai perangsang sosial seseorang;
- Keperibadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statistik, seperti bentuk badan
atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang;
- Keperibadian tidak berkembang secara pasif, tetapi setiap orang mempergunakan
kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri kepada lingkungan sosial.
5.
- Kecerdasaan,
- Keinginan yang kuat (motivasi),
- Sabar, d)harta benda (modal),
- Selalu dekat dengan guru dan
- Waktu yang panjang