Pengertian Metode Cooperative Learning
Menurut Johnson dalam B. Santoso Cooperative Learning
adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompok-kelompok
kecil, siswa belajar dan bekerjasama untuk sampai pada
pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu
maupun kelompok. Sedangkan Nurhadi mengartikan
Cooperative Learning sebagai pembelajaran yang secara sadar
dan sengaja mengembangkan interkasi yang silih asuh untuk
menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat
menimbulkan permasalahan.
Selanjutnya Davidson dan Kroll, sebagaimana yang
dikutip oleh Hamdun, Cooperative Learning diartikan dengan
kegiatan yang berlangsung dalam lingkungan belajar sehingga
siswa dalam kelompok kecil saling berbagi ide-ide dan bekerja
secara kolaboratif untuk menyelesaikan tugas akademik.
Walhasil, Cooperative Learning adalah metode
pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok yang
dilakukan untuk mencapai tujuan khusus. Selain itu juga untuk
memecahkan soal dalam memahami suatu konsep yang didasari
rasa tanggung jawab dan berpandangan bahwa semua siswa
memiliki tujuan sama. Aktivitas belajar siswa yang komunikatif
dan interaktif, terjadi dalam kelompok-kelompok kecil.
Oleh sebab itu, menurut Melvin L. Silberman, seperti
yang dikutip oleh Sutrisno, mengatakan belajar merupakan
konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa.
Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan
sekaligus. Pada saat kegiatan itu aktif, siswa melakukan
sebagian besar pekerjaan belajar. Siswa mempelajari gagasangagasan,
memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa
yang mereka pelajari.
Dengan mengunakan metode Cooperative Learning,
pembelajaran akan efektif dan berjalan sesuai dengan fitrah
peserta didik sebagai mahluk sosial yaitu mahluk yang tidak
bisa berdiri sendiri, namun selalu membutuhkan kerjasama
dengan orang lain untuk mempelajari gagasan, memecahkan
masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Jelasnya
belajar kooperatif tidak hanya bertujuan menanamkan siswa
terhadap materi yang akan dipelajari namun lebih menekankan pada melatih siswa untuk mempunyai kemampuan sosial, yaitu
kemampuan untuk saling bekerjasama, berkelompok dan
bertanggung jawab terhadap sesama teman kelompok untuk
mencapai tujuan umum kelompok.
Metode Cooperative Learning dibangun atas dasar
Konstruktivis Sosial dari Vygotsky, teori Konstruktivis Personal
dari Piaget dan Teori Motivasi. Menurut prinsip utama teori
Vygotsky, perkembangan pemikiran merupakan proses sosial
sejak lahir. Anak dibantu oleh orang lain (baik orang dewasa
maupun teman sebaya dalam kelompok) yang lebih kompeten
didalam ketrampilan dan teknologi dalam kebudayaannya. Bagi
Vigotsky, aktivitas kolaboratif diantara anak-anak akan
mendukung pertumbuhan mereka, karena anak-anak yang
sesuai lebih senang bekerja dengan orang yang satu zone (Zone
of Proximal Development, ZPD) dengan yang lain. Pada
pandangan ini, bahwa kepribadian atau kejiwaan dari pada
peserta diteropong secara keseluruhan, artinya bagian atau
elemen kejiwaan tidak berdiri sendiri, melainkan terorganisir
menjadi suatu keseluruhan.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan dalam pembelajaran
Cooperative Learning sangat mengutamakan keseluruhan
(holistik) dari pada bagian kecil dalam proses pembelajaran yang
mengutamakan kerja kelompok.
Secara sederhana teori Konstruktivisme itu beranggapan
bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari mengetahui
sesuatu. Pengetahuan kita bukanlah suatu fakta yang tinggal
ditemukan, melainkan suatu perumusan atau formulasi yang
diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya. Teori
Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti tentang realitas,
tetapi lebih hendak melihat bagaimana suatu proses, dalam hal
ini adalah pembelajaran, dari tidak mengetahui menjadi
mengetahui sesuatu tersebut. Maka dalam pandangan ini
belajar merupakan suatu proses aktif dari peserta didik untuk
mengkonstruksi makna, pengalaman fisik dan sebagainya.
Sedangkan Piaget juga melihat pentingnya hubungan
sosial dalam membentuk pengetahuan. Interaksi kelompok
berbeda secara kualitatif dan juga lebih kuat dari pada interaksi
orang dewasa dan anak-anak dalam mempermudah
perkembangan kognitif. Posisi teori Piaget dalam belajar
kooperatif ditujukan terutama kepada siswa yang
berkemampuan tinggi agar mampu membangun pengetahuan
sendiri melalui interaksi dengan lingkungan. Sebab, lingkungan insani maupun lingkungan physik merupakan sumber yang
berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan
kemampuan peserta didik. Dengan demikian ia mampu menjadi
perancah (scaffolding) bagi teman-temannya yang lain.
Menurut teori motivasi yang dikemukakan oleh Slavin
bahwa motivasi belajar pada pembelajaran kooperatif terutama
difokuskan pada penghargaan atas struktur tujuan tempat
peserta didik beraktivitas. Menurut pandangan ini, memberikan
penghargaan kepada kelompok berdasarkan penampilan
kelompok akan menciptakan struktur penghargaan antar
perorangan di dalam suatu kelompok sedemikian hingga
anggota kelompok itu saling memberi penguatan sosial sebagai
respon terhadap upaya-upaya berorientasi kepada tugas
kelompok.
Metode Cooperative Learning diterapkan melalui
kelompok kecil pada semua mata pelajaran dan tingkat umur
disesuaikan dengan kondisi dan situasi pembelajaran.
Keanggotaan kelompok terdiri dari siswa yang berbeda
(heterogen) baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin
dan etnis, latar belakang sosial dan ekonomi. Dalam hal
kemampuan akademis, kelompok pembelajaran Cooperative
Learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan tinggi,
dua orang dengan kemampuan sedang dan satu yang lainnya
dari kelompok kemampuan akademis kurang. Cooperative
Learning bertujuan untuk mengkomunikasikan siswa belajar,
menghindari sikap persaingan dan rasa individualitas siswa,
khususnya bagi siswa yang berprestasi rendah dan tinggi.
Unsur-unsur Metode Cooperative Learning
Menurut Roger dan David Johnson dalam Anita Lie, tidak
semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai Cooperative
Learning.
Untuk memperoleh manfaat yang diharapkan dari
implementasi pembelajaran kooperatif, Johnson dan Johnson
menganjurkan lima unsur penting yang harus dibangun dalam
aktivitas intruksional, mencakup:
- Saling Ketergantungan Positif (Positif Interdependence)
- Interaksi Tatap Muka (Face to Face Interaction)
- Tanggung Jawab Individual (Individual Accountability)
- Ketrampilan Sosial (Sosial skill), dan
- Evaluasi Proses Kelompok (Group debrieving).
a. Saling Ketergantungan Positif (Positif Interdependence)
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha
setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa,
sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan
tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan
mereka. Dalam metode Jigsaw, Aronson menyarankan
jumlah anggota kelompok dibatasi sampai dengan empat
orang saja dan keempat anggota ini ditugaskan membaca
bagian yang berlainan. Keempat anggata ini lalu berkumpul
dan bertukar informasi. Selanjutnya, pengajar akan
mengevaluasi mereka mengenai seluruh bagian. Dengan cara
ini, maka setiap anggota merasa bertanggung jawab untuk
menyelesaikan tugasnya agar yang lain dapat berhasil.
b. Interaktif Tatap Muka (Face to Face Interaction)
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk
bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan
memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang
menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran beberapa
orang akan lebih kaya dari pada hasil pemikiran dari satu
orang saja. Lebih jauh lagi, hasil kerja sama ini jauh lebih
besar dari pada jumlah hasil masing-masing anggota.
Dan kegiatan interaktif tatap muka ini juga akan
berimplikasi pada kecerdasan interpersonal antar sesama
anggota atau lawan tatap muka. Proses ini bisa
dipresentasikan dengan kerja kelompok atau pembentukan
kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran umum
atau pendidikan agama Islam pada khususnya. Inti dari
sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing. (Thomas
Amstrong: 2004, 121)
c. Tanggung Jawab Individual (Individual Accountability)
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur
yang pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut
prosedur model Cooperative Learning setiap siswa akan
merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan
guru dalam menyusun tugas. Dalam tekhnik Jigsaw, bahan
bacaan dibagi menjadi empat bagian dan masing-masing
Pembelajar mendapat dan membaca satu bagian. Dengan
cara demikian, pembelajar yang tidak melaksanakan
tugasnya akan ketahui dengan jelas dan mudah. Rekanrekannya
dalam satu kelompok dapat membantu dan
memberikan dorongan untuk memahami dari materi serta
akan menuntut untuk melaksanakan tugasnya agar tidak
menghambat yang lain.
Hal tersebut senada dengan perincian dari Imam dan
Taqwa oleh Djamaluddin dan Abdullah Aly dalam bukunya
“Kapita Selekta Pendidikan Islam”, yang salah satunya adalah memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. (Djamaluddin dan Abdulllah Aly: 1999, 41)
d. Ketrampilan social (Social skill)
Yang dimaksud dengan ketrampilan sosial adalah
ketrampilan dalam berkomunikasi dalam kelompok.
Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu
mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa
mempunyai keahlian mendengarkan dan kemampuan untuk
mengutarakan pendapat mereka. Adakalanya pembelajar
perlu diberitahu secara eksplisit mengenai cara-cara
berkomunikasi secara efektif seperti bagaimana cara
menyanggah pendapat orang lain tanpa harus menyinggung
perasaan orang tersebut.
e. Evaluasi proses kelompok (Group Debrieving)
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi
kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan
hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama
dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu diadakan
setiap kali ada belajar kelompok, melainkan bisa diadakan
selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajaran
terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Hal ini akan memunculkan kecakapan personal
(personal skill), yang mencakup kecakapan mengenai diri
(self awareness) dan kecakapan berfikir rasional (thinking
skill). Kecakapan diri itu pada dasarnya merupakan
penghayatan diri sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa,
anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan
mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki,
sekaligus menjadikannya sebagai individu yang bermanfaat
bagi diri sendiri dan lingkungannya. (Tim Broad Based
Education: tt, 10)
Tehnik-Tehnik Dalam Cooperative Learning
Terdapat beberapa tehnik dalam metode Cooperative
Learning. Meski demikian guru tidak harus terpaku pada satu
strategi saja. Guru dapat memilih dan memodifikasi sendiri
teknik-teknik dalam metode Cooperative Learning sesuai dengan
situasi kelas. Dalam satu jam/ sesi pelajaran, guru juga bisa
memakai lebih -dari satu tekhnik.
Berikut beberapa tekhnik belajar dalam Cooperative
Learning:
a. STAD (Student Team Achievement Devision)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan temantemannya
di Universitas John Hopkin. Guru yang
menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok
siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal dan teks. Dalam satu kelompok siswa terdiri dari 4-5 orang yang
heterogen. Anggota team menggunakan lembar kegiatan atau
perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan
materi dan kemudian saling membantu satu sama lain
untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis atau
diskusi. Secara individu setiap minggu siswa diberi kuis.
Kuis diskor dan tiap individual diberi skor perkembangan.
(Muslimin Ibrohimin: 2000, 20)
b. Jigsaw
Strategi ini merupakan strategi yang menarik untuk
digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi
menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak
mengharuskan urutan penyampaian.
Jigsaw dikembangkan oleh Aronson. Teknik ini dapat
digunakan dalam pembelajaran membaca, menulis,
mendengarkan ataupun berbicara. Teknik ini
menggabungkan keempatnya. Teknik ini juga dapat
digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu
Pengerahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika,
Agama dan Bahasa. Dalam satu kelompok siswa memiliki
latar belakang heterogen. Dalam tekhnik ini siswa menjadi
“tenaga ahli” tentang sebuah topik dengan cara bekerjasama
dengan para anggota dari kelompok lain yang telah
ditetapkan sesuai dengan keahlian dengan topik tersebut.
Setelah kembali kepada kelompok mereka masing-masing
siswa mengajar kelompoknya. Pada akhirnya, semua siswa
akan dievaluasi pada semua aspek yang berhubungan
dengan topik tersebut.
Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan
seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan
kepada siswa lainnya. Dalam hal ini, siswa dapat bekerja
sama antar siswa lainnya untuk belajar lebih efektif dan juga
untuk memberikan kesempatan pada siswa lainnya
berinteraksi lebih inten dengan yang lainnya.
c. Group Investigation (Investigasi Kelompok)
Strategi model ini merupakan suatu strategi yang
memberikan keleluasan pada siswa untuk berkelompok dan
berkomunikasi antar sesama kelompok untuk memunculkan
kreasi, ide-ide dan juga solusi yang lebih mengena terhadap
permasalahan yang dihadapi kelompok tersebut. Bahkan
dengan metode ini juga memberikan pada siswa untuk
berinteraksi dengan kelompok yang lainnya.
Model ini pertama kali dicetuskan oleh John Dewey,
kemudian model ini lebih dipertajam dan dikembangkan
beberapa tahun kemudian oleh Shlomo dan Yael Sharan dan
Rachel Hertz-Lazarowitz di Israel. Teknik ini memerlukan
norma dan struktur kelas yang lebih rumit serta mengajarkan siswa ketrampilan komunikasi dan proses
kelompok yang baik. Dalam Investigasi kelompok guru
membagi siswa dalam beberapa kelompok yang anggotanya
heterogen. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki
dan kemudian menyiapkan serta mempresentasikan
laporannya kepada seluruh kelas.
d. Numbered Head Together
Tehnik ini dikembangkan oleh Spenser Kagan untuk
melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang
tercakup dalam suatu pembelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Guru
melempar pertanyaan, lalu para siswa berkonsultasi sekedar
untuk meyakinkan apakah setiap siswa tersebut telah
mengetahui jawaban dari soal tersebut. Setelah itu, seorang
siswa dipanggil untuk menjawab pertanyaan.
e. Think-Pair-Share (Berfikir-Berpasangan-Berempat)
Tehnik ini merupakan tekhnik yang sederhana,
namun sangat bermanfaat. Telah dikembangkan oleh Frank
Lyman di University of Maryland. Sesuai dengan namanya,
tekhnik ini dilakukan dalam tiga tahapan. Guru memberikan
pelajaran untuk seluruh kelas, siswa berada pada teamnya
masing-masing. Kemudian guru mengajukan pertanyaan
untuk seluruh kelas, siswa memikirkan jawabannya sendirisendiri
(think). Kemudian siswa berpasangan dengan teman
sebayanya untuk saling mencocokkan jawabannya (pair).
Dan akhirnya, guru meminta siswa untuk berbagi dengan
seluruh kelas tentang apa yang telah dibicarakan (share).
Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Belajar kooperatif mempunyai beberapa kelebihan.
Kelebihan belajar kooperati menurut Hill & Hill (1993: 1-6)
adalah
(1) meningkatkan perestasi siswa,
(2) memperdalam
pemahaman siswa,
(3) menyenangkan siswa,
(4)
mengembangkan sikap kepemimpinan,
(5) menembangkan sikap
positif siswa,
(6) mengembangkan sikap menghargai diri sendiri,
(7) membuat belajan secara inklusif,
(8) mengembangkan rasa
saling memiliki, dan
(9) mengembangkan keterampilan untuk
masa depan.
Selain mempunyai kelebihan, belajar kooperatif juga
mempunyai beberapa kelemahan. Menurut Dess (1991: 411)
beberapa kelemahan belajar kooperatif adalah
(1) membutuhkan
waktu yang lama bagi siswa, sehingga sulit mencapai target
kurikulum,
(2) membutuhkan waktu yamg lama untuk guru
sehingga kebanyakan guru tidak mau menggunakan strategi
kooperatif,
(3) membutuhkan kemampuan khusus guru
sehingga tidak semua guru dapat melakukan atau menggunakan strategi belajar kooperatif, dan (4) menuntut sifat
tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.
Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam terutama
karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah
yang digunakan oleh ulama’ dalam memberikan pengertian
tentang “Pendidikan Islam” dan sekaligus untuk diterapkan
dalam konteks yang berbeda-beda.
Menurut Zakiyah Daradjat, pendidikan Islam
didefinisikan dengan suatu usaha untuk membina dan
mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami
ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang
pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam
sebagai pandangan hidup.
Definisi lain menyebutkan bahwa pendidikan Islam
merupakan proses yang mengarahkan manusia pada kehidupan
yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai
dengan kemampuan fitrah dan kemampuan ajarnya (pengaruh
dari luar). Pendidikan Islam itu menurut Hasan Langgulung,
seperti yang di kutip oleh Muhaimin bahwa Pendidikan Islam
setidaknya tercakup dalam delapan pengertian yaitu:
Al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din
(pengajaran agama), al-ta'lim al-diny (pengajaran
keagamaan), a1-ta'lim al-islamy (pengajaran keIslaman),
tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang islam), altarbiyah
fi al-islam (pendidikan dalam islam) al-tarbiyah inda'
al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam) dan
al-tarbiyah al-Islamy (pendidikan Islam).
Para ahli pendidikan Islam bisaanya telah menyoroti
istilah-istilah tersebut yaitu istilah At-Ta’diib, At-Ta’liim dan Attarbiyah
dari aspek perbedaan antara pendidikan dan
pengajaran. Prof. DR. Muhammad Athiyyah al-Abrasyi dan Prof.
DR. Mahmud Yunus menyatakan bahwa istilah Tarbiyah dan
Ta’llim dari segi makna istilah maupun aplikasinya memiliki
perbedaan mendasar, mengingat dari segi makna istilah tarbiyah
berarti mendidik, sementara ta’liim berarti mengajar, dua istilah
tersebut secara substansial tidak bisa disamakan.
Imam Baidawi mengatakan bahwa istilah pendidikan
(tarbiyah) lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan lslam.
Sedangkan DR. Abdul Fattah Jalal dari hasil kajiannya
berkesimpulan bahwa istilah pengajaran (ta’llim) lebih luas
jangkauannya dan lebih umum sifatnya dari pada pendidikan.
Di kalangan penulis Indonesia istilah pendidikan bisaanya lebih
diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap, dan
kepribadian, atau lebih mengarah pada afektif, sementara
pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan
atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor.
Kajian lainnya berusaha membandingkan dua istilah di
atas dengan istilah ta’dib, sebagaimana dikatakan oleh Syed
Naquib al-Attas, yang lahir di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5
September 1931 dan kini menjadi warga negara Malaysia,
seperti yang dikutip oleh Abd. Halim Soebahar bahwa dari hasil
kajiannya ditemukan bahwa istilah ta’dib lebih tepat untuk di
gunakan dalam konteks pendidikan Islam, dan kurang setuju
terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.
Terminologi di atas, terkesan belum terlihatnya
penekanan pada nilai-nilai religius sebagai nilai yang tidak
terlepaskan pada diri manusia dan sebagai nilai kontrol.
Untuk
itu, para ahli ilmuan muslim yang lain, mencoba untuk
mendefinisikan terminologi pendidikan dalam perspektif Islam
yang secara khusus pada beberapa visi antara lain:
a. Prof. H. M. Arifin, memandang bahwa, pendidikan Islam
adalah “suatu proses sistem pendidikan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah
(anak didik) dengan berpedoman pada ajaran Islam”. Dan
pendidikan Islam merupakan usaha dari orang dewasa
(muslim) yang bertaqwa, yang secara sadar mengarahkan
dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah
(potensi dasar) anak didik melalui ajaran Islam kearah titik
maksimal pertumbuhan dan perkembangan.
b. Sedangkan Burlian Somad, seperti yang dikutip oleh
Djamaluddid dalam bukunya “Kapita Selekta Pendidikan
Islam”, mengatakan bahwa pendidikan Islam sebagai
pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi
makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut
ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan
tujuan itu, yaitu ajaran
c. Allah. Sedangkan Ahmad D. Marimba, melihat bahwa
pendidikan Islam adalah suatu konsep yang berupa
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum
agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan demikian,
memungkinkan anak didik baca peserta didik- dapat hidup sesuai dengan perkembangan lingkungan di mana ia
berada.
d. Pengertian di atas juga sejalan dengan hasil seminar Islam
se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan tanggal 11 Mei 1960
di Cipayung-Bogor "bahwa Pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap pertumbuhan menurut ajaran Islam
dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih,
mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”.
Dari pengertian yang dibangun oleh ilmuan muslim
dalam mendefinisikan pendidikan Islam tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah rangkaian
proses sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya
mentransfer nilai-nilai kepada peserta didik, mengembangkan
potensi yang ada pada diri anak didik sehinggga mampu
melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya,
sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran
agama (Al-Qur’an dan Al-Hadist) pada semua dimensi
kehidupannya.
Dengan dimensi tersebut, akan berimplikasi pada
pendidikan itu sendiri, antara lain:
- Pendidikan dilakukan oleh pendidik yang benar-benar
kompeten di bidangnya, tanpa terkelupasnya nilai agama
pada dirinya.
- Pendidikan dilakukan dengan berdasarkan normatif Ilahiyah.
- Pendidikan di lakukan sesuai dengan potensi anak didik.
- Pendidikan tidak hanya sekedar berorientasi pada kehidupan
duniawi, akan tetapi juga berorientasi pada kehidupan
ukhrawi.
- Pendidikan harus bertanggung jawab penuh pada
perkembangan anak didik, baik kepada masyarakat maupun
kepada Allah.
- Pendidik harus merencanakan dan melaksanakan kegiatan
pendidikan sesuai dengan Sunnatullah.
- Proses pendidikan harus melihat semua saluran, baik
saluran formal. Informal, maupun nonformal, dalam upaya
mengembangkan pribadi anak didik sehingga mampu
menangkal nilai-nilai amoral.
Dari implikasi tersebut di atas, akan terciptalah suatu
interaksi yang komunikatif antara pendidik dan anak didik dan
masyarakat secara integral dalam upaya meningkatkan generasi
yang berkualitas, beriman dan bertaqwa kepada khaliknya.