1. Pengertian Estetika
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Estetika yang berasal dari bahasa Yunani aisthetika” berarti hal-hal yang dapat dicerap oleh pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai pencerapan indera (sense of perception).
Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata aisthetika, sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).
Untuk estetika sebaiknya jangan dipakai kata filsafat keindahan karena estetika
kini tidak lagi semata-mata menjadi permasalahan falsafi tapi sudah sangat ilmiah.
Dewasa ini tidak hanya membicarakan keindahan saja dalam seni atau pengalaman
estetis, tetapi juga gaya atau aliran seni, perkembangan seni dan sebagainya.
Masalah dalam seni banyak sekali. Di antara masalah tersebut yang penting
adalah masalah manakah yang termasuk estetika, dan berdasarkan masalah apa dan ciri
yang bagaimana. Hal ini dikemukakan oleh George T. Dickie dalam bukunya Aesthetica. Dia mengemukakan tiga derajat masalah (pertanyaan) untuk mengisolir
masalah-masalah estetika. Yaitu pertama, pernyataan kritis yang mengambarkan,,
menafsirkan, atau menilai karya-karya seni yang khas. Kedua pernyataan yang bersifat
umum oleh para ahli sastra, musik atau seni untuk memberikan ciri khas genre-genre
artistik (misalnya: tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak). Ketiga, ada pertanyaan
tentang keindahan, seni imitasi, dan lain-lain.
2. Estetika dan Filsafat
Filsafat merupakan bidang pengetahuan yang senantiasa bertanya dan mencoba
menjawab persoalan-persoalan yang sangat menarik perhatian manusia sejak dahulu
hingga sekarang. Salah satu persoalan yang mendasari ungkapan rasa manusia adalah
estetika, jika peranannya sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan.
The Liang Gie menyatakan ada enam jenis persoalan falsafi, yaitu:
a. Persoalan metafisis (methaphysical problem)
b. Persoalan epistemologis (epistemological problem)
c. Persoalan metodologis (methodological problem)
d. Persoalan logis (logical problem)
e. Persoalan etis (ethical problem)
f. Persoalan estetika (esthetic problem)
Pendapat umum menyatakan bahwa estetika adalah cabang dari filsafat, artinya
filsafat yang membicarakan keindahan.
Persoalan estetika pada pokoknya meliputi empat hal:
a. Nilai estetika (esthetic value)
b. Pengalaman estetis (esthetic experience)
c. Perilaku orang yang mencipta (seniman)
d. Seni
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
batasan rakitan (stucture) dan peranan (role) dari keindahan, khususnya dalam seni.
Kemudian muncul pertanyaan: apakah itu seni? Apakah teori tentang seni? Apa
keindahan dan teori tentang keindahan? Apakah keindahan itu obyektif atau subyektif?
Apakah keindahan itu berperan dalam kehidupann manusia.
3. Estetika dan Ilmu
Estetika dan ilmu merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan , karena
sekarang ada kecenderungan orang memandang sebagai ilmu kesenian (science of art)
dengan penekanan watak empiris dari disiplin filsafat..
Dalam karya seni dapat digali berbagai persoalan obyektif. Umpamanya
persoalan tentang susunan seni, anatomi bentuk, atau pertumbuhan gaya, dan
sebagainya. Penelahaan dengan metode perbandingan dan analisis teoritis serta
penyatupaduan secara kritis menghasilkan sekelompok pengetahuan ilmiah yang
dianggap tidak tertampung oleh nama estetika sebagai filsafat tentang keindahan. Akhir
abad ke- bidang ilmu seni ini di Jerman disebut kunstwissensechaft. Bila istilah itu
diteterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah general science of art.
E.D. Bruyne dalam bukunya Filosofie van de Kunst berkata bahwa pada abad
ke-19 seni diperlakukan sebagai produk pengetahuan alami. Sekarang dalam
penekanannya sebagai disiplin ilmu, estetika dipandang sebagai the theory of sentient
knowledge. Estetika juga diterima sebagai the theory of the beautiful of art” atau
“the science of beauty.
Sebagai disiplin ilmu, estetika berkembang sehingga mempunyai perincian yang
semakin kaya, antara lain:
- Theories of art,
- Art Histories,
- Aesthetic of Morfology,
- Sociology of Art,
- Anthropology of Art,
- Psychology of Art,
- Logic, Semantic, and Semiology of Art.
Estetika merupakan studi filsafati berdasarkan nilai apriori dari seni (Panofsky)
dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni (Worringer). Berdasarkan
kenyataan pendekatan ilmiah terhadap seni, dalam estetika dihasilkan sejarah kesenian
dan kiritk seni.
Sejarah kesenian bersifat faktual, dan positif, sedangkan kritik seni
bersifat normatif.
Gambar Patung Penari China, Karya seniman Zaman Majapahit,
Fakta Evolusi Bentuk Patung dan Figur manusia, temuan jatidiri Seni Rupa Indonesia
Sejarah kesenian menguraikan fakta obyektif dari perkembangan evolusi bentuk-bentuk
kesenian, dan mempertimbangkan berbagai interpretasi psikologis. Kritik seni
merupakan kegiatan yang subyektivitas pada suatu bentuk artistik juga moralnya sebagai
pencerminan pandangan hidup penciptanya (seniman). Pertimbangan berdasarkan ukuran
sesuai dengan kebenaran berpikir logis. Maka kiritk hampir selalu mengarah pada
filsafat seni. Baik sejarah maupun kritik seni dituntut pengenalan sistem untuk mengenal
seni dan kesenian.
Estetika Klasik
Plato menempatkan seni (yang sekarang dianggap sebagai suatu karya indah)
sebagai suatu produk imitasi (mimesis). Karya imitasi (seni) tersebut harus memiliki
keteraturan dan proporsi yang tepat.
Aristoteles memandang estetika sebagai the poetics yang terutama merupakan
kontribusi terhadap teori sastra daripada teori estetika. Sebenarnya secara prinsip
Aristoteles dan Plato berpandangan sama yaitu membuat konklusi bahwa seni
merupakan proses produktif meniru alam. Aristoteles juga mengembangkan teori chatarsis sebagai suatu serangan kembali terhadap pendapat Plato. Chatarsis, dalam
bentuk kata Indonesia katarsis adalah penyucian emosi-emosi menakutkan,
menyedihkan dan lain-lain.
Gambar Patung karya Pheidias, zaman Yunani Klasik,
Estetika Klasik: Naturalisme
Estetika Abad Pertengahan
Abad pertengahan merupakan abad gelap yang menghalangi kreativitas seniman
dalam berkarya senii. Agama Nasrani (Kristen) yang mulai berkembang dan berpengaruh
kuat pada masyarakat akan menjadi belenggu seniman.
Gereja Kristen lama bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi
filosofis terhadap hal itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja dan kehidupan
sorgawi. Karena memang kaum gereja beranggapan bahwa seni itu hanyalah/dan selalu
mmemperjuangkan bentuk visual yang sempurna (idealisasi). Manusis merupakan pusat penciptaan. Segala sesuatu karya kembali kepada manusia sebagai subyek matternya.
Hal ini dinamakan anthroposentris. Tokoh Renesans (dari kata Renaissance), Leon
Battista mengatakan bahwa lukisan adalah penyajian tiga dimensi.
Ia menekankan
penggambaran yang setia dan konsisten dari subyek dramatik sebuah lukisan.
Battista berpendapat pula bahwa seniman harus mempelajari ilmu anatomi
manusia, dan kaidah-kaidah teknik senirupa yang lain. Dengan kata lain, seniman perlu
mengikuti pendidikan khusus, selain mengembangkan bakat seninya. Pandangan ini pun
diikuti para ahli lainnya dan para seniman di jaman initermasuk Leonardo dan Vinci.
Istilah akademis dalam seni mulai tampak dirintis, karena ada usaha para seniman untuk
mengembangkan ilmu seni secara rasional (teori yang berlandaskan kaidah seni klasik
Yunani/Romawi).
Gambar Relief dan Patung pada dinding Katedral, Estetika Abad Pertengahan
Estetika Pramodern
Anthony Ashley Cooper mengembangkan metafisika neoplatoistik yang
memimpikan satu dunia yang harmonis yang diciptakan oleh Tuhan. Aspek-aspek dari
alam yang harmonis pada manusia ini termasuk pengertian moral yang menilai aksi-aksi
manusia, dan satu pengertian tentang keindahan yang menilai dan menghargai seni dan
alam. Keagungan, termasuk keindahan merupakan kategori estetika yang terpenting.
David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia
mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualitas yang objektif dari objek. Yang
dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan
manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia. Hume juga membuat konklusi,
meskipun tak ada standar yang mutlak tentang penilaian keindahan, selera dapat
diobyektifkan oleh pengalaman yang luas, perhatian yang cermat dan sensitivitas pada
kualitas-kualitas dari benda.
Immanuel Kant, seperti Hume, bertahan bahwa keindahan bukanlah kualitas
objektif dari objek. Sebuah benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling
mempengaruhi secara harmonis, diantara imajinasi dan pengertian (pikiran).
Penilaian selera maknanya subjektif dalam arti ini.
Gambar Karya Lithograph, Daumier, realisme
Estetika Pramodern: ekspresi yang cenderung otonom
Estetika Kontemporer
Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam sebuah sistem filosofis
dari idealisme. Segala sesuatu adalah ideal yang merupakan aktivitas pikiran. Aktivitas
pikiran dibagi menjadi dua yaitu yang teoritis (logika dan estetika), dan yang praktis
(ekonomi dan etika).
Menurut Croce, estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif. Satu intuisi
merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran seniman. Teori ini menyamakan seni dengan intuisi. Hal ini jelas menggolongkan seni sebagai satu jenis pengetahuan
yang berada dalam pikiran, satu cara menolong penciptaan kembali seni di alam pikiran
apresiatoor.
Filsuf Amerika, George Santayana, mengemukakan sebuah estetika naturalistis.
Keindahan disamakan dengan kesenangan rasa, ketika indera mencerap obyek-obyek
seni. Clive Bell memperkenalkan lukisan-lukisan Paul Cezanne dan seniman modern
lainnya kepada publik Inggris. Menurut pendapatnya, bentuk sangat penting dan
merupakan unsur karya seni yang bisa menjadikan karya itu bernilai atau tidak.
Gambar Lukisan Van Gogh, menekankan isi (ungkapan rasa, ekspresi)
Estetika Timur
India merupakan negara dan bangsa yang memiliki pandangan seni (dan estetika)
yang berbeda dalam beberapa hal dengan bangsa Eropa. Sebagai contoh,, penggambaran
patung di Barat (Eropa) yaitu pada jaman Yunani, merupakan bentuk manusia ideal,
atau mengutamakan keindahan bentuk. Di India patung tidak selalu serupa dengan
manusia biasa, misalnya Durga, Syiwa dengan empat kepala, dan lain-lain. Padahal
temanya yaitu penggambaran patung dewa. Perbedaan ini akan lebih jelas, sebab seniman India harus mengikuti modus tertentu seperti yang diterangkan di dalam dyana‖ untuk
menggambarkan macam-macam dewa Hindu atau Budha.
Dyana berarti meditasi,
merupakan proses kejiwaan dari seseorang yang berusaha untuk mengontrol pkiran dan
memusatkan pada suatu soal tertentu yang akhirnya akan membawanya pada semadi.
Sifat-sifat visual dari gambaran di atas (dalam semadi) kemudian di tulis dalam
Silvasastra. Buku inilah yang menjadi pedoman berkarya selanjutnya. Elemen yang
penting dalam senirupa adalah intuisi mental dan sesuatu hal yang dikonsepsikan dan
personalitas seniman menyatu dengan obyek. Inilah hasil meditasi (dyana). Seni bukan
merupakan imitasi dari alam. Teknik proporsi, perpektif, dsb diterangkan dalam
Visudgarmottarapurna dan Chitra Sutra. Dalam Chitra Sutra penggambaran yang
penting adalah kontinyuitas garis tepi yang harmonis, ekspresi, dan sikap yang molek. Di
India juga mementingkan sikap dan bentuk yang simbolistis (perlambangan).
Ada beberapa pendapat para ahli India di antaranya:
- Keindahan adalah sesuatu yang menghasilkan kesenangan. Seni diolah melalui proses
kreatiff dari pikiran menuju pada penciptaan obyek yang dihasilkan oleh getaran
emosi. Inti keindahan adalah emosi (ini pendapat Joganatha).
- Pendapat lain mengatakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang memberikan
kesenangan tanpa rasa kegunaan.Yang menyebabkan rasa estetik adalah faktor luar
dan faktor dalam (pendapat Rabindranath Tagore). Ia juga menerangkan untuk
sebuah sajaknya,, bahwa ia tidak dapat menerangkan bekerjanya proses alamiah yang
misterius itu, tetapi seolah-olah terjadi dengan sendirinya. Nampaknya ada sesuatu di
atas kekuasaannya sendiri yang siap menuntun impulsinya dalam suatu jalan sehingga
memungkinkan memberi bentuk pada pandangan intuisinya dari dalam.
Jelaslah bahwa seniman yang menciptakan obyek keindahan atau seni adalah
didorong oleh potensi teologis.
Gambar Relief Arjuna, potensi teologis
Gambar Patung Budha. Simbolistis, lambang keluhuran budi pekerti
Antara Nilai-nilai dan Pengalaman Seni
Membahas persoalan seni akan berkaitan selalu dengan pengalaman seni dan
nilai-nilai seni. Seni bukanlah sebatas benda seni, tetapi nilai-nilai sebagai respon estetik dari publik melalui proses pengalaman seni. Antara nilai-nilai dan pengalaman seni tidak
bisa lepas dari konteks bahasan filsafat estetika seni.
Ada 3 (tiga) persoalan pokok dalam filsafat seni, yaitu benda seni (karya seni)
sebagai hasil proses kreasi seniman, pencipta seni (seniman), dan penikmat seni (publik
seni). Dari benda seni (karya seni) akan muncul persoalan kausal, sebagai hasil proses
pemahaan seni dari publik/apresiator terhadap seni yaitu berupa nilai-nilai seni.
Seperti yang dikemukan Jakob Sumardjo dalam kumpulan tulisannya Menikmati
Seni, bahwa filsafat seni meliputi 6 (enam) persoalan utama, yaitu :
- Benda seni,
- Seniman,
- Publik seni,
- Konteks seni,
- Nilai-nilai seni, dan
- Pengalaman seni
(Sumardjo, 1997:16).
Dengan demikian pengalaman seni termasuk salah satu pokok
kajian filsafati.
Seniman berupaya mengkomunikasi-kan idenya lewat benda-benda seni kepada
publik. Publik yang menikmati dan menilai karya seni tersebut memberikan nilai-nilai.
Nilai-nilai seni merupakan respon estetik publik terhadap benda seni bisa muncul
berbeda.
Hal ini tergantung pada subjek publik sebagai pemberi nilai. Betapapun seorang
seniman banyak menghasilkan karya, tetapi jika publik seni tidak pernah menganggap
bahwa karya itu bernilai, maka karya semacam itu akan lenyap dan tak pernah memilki
arti apa-apa.
Seorang pelukis ekspresionalisme Barat, Vincent van Gogh, melukis dengan
tekun dan konsekuen dalam konsep estetiknya. Namun ternyata pada jaman itu karyanya
belum bisa teradaptasi nilai dengan publik seninya. Nilai-nilai seni van Gogh baru
tumbuh dan berkembang di masyarakat setelah dia wafat. Pertumbuhan dan
perkembangan seni dalam suatu masyarakat, didukung oleh adanya nilai-nilai yang
dianut masyarakat itu terhadap karya seni.
Misalnya karya seni lukis pemandangan alam Jelekong Ciparay memilki nilai di
suatu masyarakat pedesaan di Jawa Barat khususnya. Namun lukisan tersebut jika
dipamerkan atau disuguhkan kepada masyarakat elit kota (kaum intelektual atau
akademisi) tentulah tidak akan mendatangkan nilai yang berarti. Faktor latar belakang
sosial budaya, tingkat pendidikan, kepentingan (interest) menentukan seseorang dalam
memiliki pandangan terhadap seni. Pandangan seni mempengaruhi pertumbuhan seni itu
sendiri, karena perkembangan seni tergantung pula terhadap nilai yang diberikan publik
seni terhadap karya seni.
Hal tersebut dapat pula dikatakan bahwa nilai-nilai seni tumbuh sebagai akibat adanya proses apresiasi seni, dengan bukti empirik : pengalaman estetika
(dalam hal pengalaman seni).
Pada bagian berikut ini diperlihatkan korelasi dan interaksi antara persoalanpersoalan
dalam kajian filsafat seni. Kedudukan pengalaman seni dan nilai-nilai seni
merupakan dua persoalan penting dalam tinjauan seni.
Bagan Antara Seniman, Benda Seni dan Publik Seni dalam konteks Pengalaman Seni
(Dikembangkan dari Model Sumardjo)
Pengalaman Estetik terhadap keindahan alam dan seni
John Dewey (1951:47) dalam bukunya Art as Experience, membedakan dua
katagori pengalaman dalam menikmati karya seni, yaitu pengalaman artistik (Act of
Production) dan pengalaman estetik (Perception and Enjoyment). Pengalaman artistik
adalah pengalaman seni yang terjadi dalam proses pencipataan karya seni. Pengalaman
ini dirasakan oleh seniman atau pencipta seni pada saat melakukan aktivitas artistik.
Proses ini dinamakan proses kreatif.
Pengalaman estetik adalah pengalaman yang dirasakan oleh penikmat
terhadap karya estetik (=dalam arti keindahan). Oleh karena itu menggunakan istilah
estetik, dan konteksnya bisa ditujukan untuk penikmatan karya seni dan keindahan
alam. Pengalaman estetik terhadap benda seni dan alam adalah dua pengalaman yang berbeda tanggapan estetiknya. Maritain dalam bukunya Creative in Art and Poetry
melukiskan pengalaman estetik sebagai berikut : “that intercommunication between
inner being of thing and the inner being of humanself”. Jika kita sedang menikmati
alam di sekitar Tangkupan Parahu terasa seakan-akan kita luluh dengan alam sekitar.
Kita terasa berada di luar diri kita. Kita terhanyut di dalam keindahan alam itu.
Seolah-olah kita merasakan ekstatis (=berdiri di luar dirinya), terangkat jauh di atas
kekerdilannya sendiri. (Hatoko, 1983:12). Alam dan manusia saling
berinterpenetrasi. Kedua belah pihak saling meluluh tanpa kehilangan identitasnya.
Manusia yang merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam identifikasi
spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya. Dan sebaliknya manusia
memasuki alam, merasakan keindahan alam itu sejauh alam mengandung unsur-unsur
manusiawi.
Kant (1724-1804) dan beberapa filsuf lain menandaskan bahwa pengalaman
estetik bersifat tanpa pamrih, manusia tidak mencari keuntungan, tidak terdorong
pertimbangan praktis. Kita menikmati keindahan hamparan sawah di Bandung Selatan
atau hamparan hijau perkebunan teh di Puncak merupakan kegiatan yang dilakukan
tanpa tuntutan apapun. Yang terpenting adalah kenikmatan dan kepuasan jiwa, karena
alam telah menyegarkan pikiran dan perasaan. Bagi beberapa seniman, keindahan alam
itu bisa menjadi salah satu rangsangan untuk berkarya seni. Seniman yang memiliki
kepekaan artistik, akan mengalami keharuan estetik atas realita alam. Kemudian
mengabadikan dan mengubah alam menjadi karya seni.
Seperti dicontohkan di atas, bahwa hasil penikmatan terhadap alam yang indah
(karya Tuhan) dapat disebut pengalaman estetik. Pengalaman estetik terhadap alam dan
karya seni merupakan dua pengalaman yang berbeda tanggapan estetiknya, karena
keindahan alam dan karya seni memiliki karakteristik yang tidak sama.
Perbedaan
tersebut adalah :
- Karya seni mengekspresikan gagasan dan perasaan, sedangkan alam tidak
mengandung makna seperti itu.
- Dalam karya seni, orang dapat bertanya., Apa yang dapat dikatakan karya ini? atau, Apakah maksud karya ini?. Kita tidak pernah bertanya hal serupa ketika
menyaksikan keindahan alam.
- Seni dapat meniru alam. Tetapi alam tidak mungkin meniru benda seni.
- Dalam alam kita dapat menerima keindahan tanpa kepentingan praktis-pragmatis
dalam hidup ini.
Atau merupakan penikmat keindahan tanpa pamrih
(disenterestedness). Sedangkan dalam karya seni masih dapat ditemui karya-karya itu
sebagai yang indah dan sekaligus berguna. Keindahan alam itu gratis, tanpa pamrih
kegunaan apapun. Sedangkan keindahan seni, karena punya makna, dapat membawa
nilai-nilai lain di samping nilai keindahan.
Perbedaan dua katagori keindahan alam dan seni seperti diutarakan di atas
akan membedakan pula ruang lingkup kajian filsafatnya.
Pengalaman seni merupakan
filsafat seni yang memusatkan perhatian pada proses penikmatan., penghayatan, dan
penghargaan terhadap karya seni. Sedangkan estetik bisa juga dimanfaatkan dalam
konteks penikmatan karya Tuhan (alam) yang mengandung nilai keindahan, tetapi bukan
karya seni (buatan manusia)
Dalam proses interaksi antara pengamatan dengan alam akan tersusun
pengalaman pada subjek pengamat berupa keharuan emosi, pengetahuan/wawasan,
kekayaan perasaan, tanggapan moralitas, dan nilai-nilai spiritual, keagungan Tuhan,
kecintaan terhadap sang Pencipta, dan rasa keimanan.
Nilai-nilai tanggapan estetik
terhadap alam tersebut merupakan hasil pengalaman. Proses pengalaman terhadap seni
yang melahirkan tanggapan estetik (diantaranya : nilai-nilai seni) bisa juga dikatakan
proses apresiasi seni. Dalam proses apresiasi terjadi interaksi perasaan (komunikasi)
antara subjek dan objek, antara pengamat dengan karya seni.
Proses apresiasi terhadap karya seni dan alam dapat digambarkan melalui 2 (dua)
bagian berikut.
Bagan Tanggapan Estetik