Pengertian Pondok Pesantren Tradisional
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang
mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat,
maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap
sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra”
(suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan
manusia baik-baik (Zarkasy, 1998: 106).
Lebih jelas dan sangat terinci sekali Madjid (1997 : 19-20) mengupas
asal usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan
”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan
dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan
mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa
Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang
agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa
membaca al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam
memandang agama. Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik”
yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap
(istilah pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya
mengenai keahlian tertentu.
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam
arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan
menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa
Arab ”Fundũq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau
mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu (Zarkasy, 1998: 105-
106).
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat
diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji
ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu
berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang
menunjukkan kesederhanaannya.
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak
dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:
- Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
- Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga
keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
- Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola
Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan
mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok)
untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama
masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi pesantren adalah
adanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku
(kitab kuning).
- Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah
Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlu al-sunnah wa al- Jamã’ah ‘alã T}arîqah al-Maz|ãhib al-‘Arba’ah.
- Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-dîn) dengan menekankan pentingnya
moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
- Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima
pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership)
seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
kharismatik serta independen dalam segala hal.
Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikannya (Asrohah, 1999 : 59).
Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu
agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri
agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab
kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.
Sejarah Pondok Pesantren
Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang asal
usul pesantren, tentang kapan awal berdirinya bagaimana proses berdirinya
dan bahkan istilah-istilah yang ada dalam dunia pesantren pun seperti istilah
kiai, santri yang menjadi unsurnya masih diperselisihkan.
Mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di
Indonesia menurut Ensiklopedi Islam ada dua versi pendapat. Pertama;
Pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam
sendiri, yaitu tradisi tarekat. Karena pesantren mempunyai kaitan yang erat
dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini didasarkan
bahwa dalam awal penyiaran Agama Islam di Indonesia lebih dikenal dengan kegiatan tarekat, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok
organisasi tarekat yang melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin
tarekat ini disebut kiai, yang dalam melaksanakan suluk dilakukan selama 40
hari tinggal bersama kiai di sebuah Masjid untuk dibimbing dalam melakukan
ibadah-ibadah tertentu. Di samping itu kiai juga biasanya menyediakan kamarkamar
kecil yang letaknya di kiri kanan Masjid untuk tempat penginapan dan
memasak. Sehingga dalam kesehariannya juga diajarkan kitab-kitab agama,
yang kemudian aktifitas ini dinamakan pengajian. Dalam perkembangannya
lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga
pesantren.
Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren yang kita kenal
sekarang merupakan pengambilalihan sistem pendidikan yang diadakan oleh
orang-orang Hindu di Nusantara. Pendapat ini didasarkan dengan adanya fakta
bahwa sebelum Islam datang ke Indonesia telah dijumpai lembaga pendidikan
yang sama dengan pesantren, Lembaga itu digunakan untuk mengajarkan
ajaran agama Hindu dan tempat untuk membina kader-kader penyebar Hindu.
Fakta lain, adalah bahwa sistem pendidikan semacam pesantren ini, tidak kita
jumpai di negara-negara Islam, sementara justru lembaga yang hampir sama
dengan pesantren, dapat kita jumpai di negara-negara Hindu dan Budha,
seperti India, Thailand dan Myanmar (Dewan Redaksi, 1993: 100).
Deskripsi tentang perkembangan pesantren tidak bisa terlepas dengan
penyebaran dan penyiaran Agama Islam di bumi Indonesia ini, sehingga dalam mengkaji perkembangan pesantren ini dapat dikelompokkan menjadi
beberapa fase, yaitu :
- Fase masuknya Islam ke Indonesia
- Fase penjajahan Belanda
- Fase penjajahan Jepang
- Fase Indonesia merdeka (Zarkasy, 1998: 106)
Untuk lebih mengetahui perkembangan pesantren, akan penulis
jelaskan keadaan dan kondisi pesantren pada masing-masing fase tersebut.
1. Fase masuknya Islam ke Indonesia
Berdirinya dan perkembangan pesantren, tidak dapat dipisahkan
dengan zaman Walisongo, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan
pondok pesantren yang pertama kali adalah pondok pesantren yang
didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Syekh Maulana Malik
Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi‟ul Awal 822 H bertepatan dengan 8
April 1419 M adalah orang pertama dari walisongo yang menyebarkan
Agama Islam di Jawa (Wahjoetomo, 1997: 70-71), sehingga dapat
disimpulkan bahwa lembaga pesantren itu sudah ada sejak abad ke-15.
Dalam perkembangan pesantren, tokoh yang dianggap berhasil
mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya
adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendirikan pesantren di
Kembang Kuning, kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan
mendirikan pesantren di sana, dan di sana misi keagamaan dan pendidikan
mencapai sukses, sehingga setelahnya banyak bermunculan pesantren- pesantren yang didirikan oleh para santrinya, di antaranya adalah pondok
pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh
Raden Fatah, pesantren Tuban oleh Sunan Bonang (Wahjoetomo, 1997:
70-71).
Keadaan dan kondisi pesantren pada masa awal masuknya Islam
tidak seperti yang kita lihat sekarang, fungsi dan kedudukannya pun tidak
sekompleks sekarang, pada saat itu pesantren hanya berfungsi sebagai alat
Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah
untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk
mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari
(Wahjoetomo, 1997: 70-71).
2. Fase Penjajahan Belanda
Penaklukan
Belanda atas bangsa Indonesia, telah menyebabkan
adanya proses westernisasi di berbagai bidang, termasuk pula dalam
bidang pendidikan, dengan berdalih pembaharuan mereka menyelinapkan
misi kristenisasi untuk kepentingan Barat dan agama Nasrani.
Tujuan itulah yang kemudian memunculkan kebijakan-kebijakan
yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan pesantren,
dengan peraturan-peraturan yang dibuat, mereka berusaha untuk
menyudutkan dan meminggirkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada,
khususnya pesantren.
Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan bahwa sekolahsekolah
gereja diwajibkan sebagai sekolah pemerintah dan tiap-tiap daerah karisedenan minimal harus ada satu sekolah yang mengajarkan agama
Kristen, agar penduduk pribumi lebih mudah untuk menaati undangundang
dan hukum negara (Zarkasy, 1998: 110-111).
Pendidikan gereja ini didirikan oleh pemerintah Belanda dengan
tujuan selain mempunyai misi kristenisasi juga untuk menandingi lembaga
pendidikan yang sudah ada, seperti pesantren, madrasah-madrasah dan
pengajian yang sangat melekat di hati rakyat, karena pemerintah Belanda
menganggap pendidikan yang telah ada sudah tidak relevan dan tidak
membantu pemerintah Belanda dalam misi kolonialisme (Zarkasy, 1998:
111).
Pemerintah Belanda berusaha menyudutkan lembaga pendidikan
Islam dengan membuat kebijakan-kebijakan yang melarang kiai untuk
memberikan pengajaran agama kecuali ada izin dari pemerintah.
Pemerintah Belanda melakukan penutupan terhadap madrasah-madrasah
dan pesantren-pesantren yang tidak memiliki izin dari pemerintah.
Kebijakan ini ditekankan karena pemerintah Belanda melihat adanya
kekhawatiran dengan menguatnya gerakan nasionalisme-islamisme
dengan munculnya persatuan pondok-pondok pesantren dan lembaga
organisasi pendidikan Islam, dan juga perkembangan agama Kristen yang
selalu mendapat reaksi keras dari rakyat (Zarkasy, 1998: 111).
Kebijakan-kebijakan kolonial yang senantiasa berusaha untuk
menghambat dan bahkan menghancurkan pendidikan Islam, telah
menyebabkan kekhawatiran, kemarahan, kebencian dan pemberontakan kepada pemerintah Belanda yang oleh kalangan pesantren
dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi, yaitu :
- Uzlah, pengasingan diri, menyingkir ke desa-desa terpencil yang jauh
dari jangkauan suasana kolonial. Hal ini dimaksudkan selain untuk
menghindarkan dari kebijakan-kebijakan kolonial Belanda, juga untuk
menjaga diri dari pengaruh moral dan kebudayaan yang destruktif.
- Bersikap non kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diamdiam,
hal ini dilakukan oleh para kiai yang mengajarkan pendidikan
keagamaan dengan menumbuhkan semangat jihad para santri-santrinya
untuk membela Islam dan menentang penjajah. Dengan fatwafatwanya
semacam membela negara dari ancaman penjajah, lebih lagi
kafir adalah bagian dari iman, bahkan sampai fatwa yang
mengharamkan segala sesuatu yang berasal dan berbau barat seperti,
memakai celana, dasi, sepatu dan lainnya.
- Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda, dengan
silih berganti selama berabad-abad kalangan pesantren senantiasa
berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara ini sehingga lahirlah
nama-nama pejuang besar yang berlatar belakang santri seperti Imam
Bonjol, Pangeran Antasari, Sultan Agung, Ahmad Lucy (Pattimura)
dan lainnya (Wahjoetomo, 1997: 77-78).
Keadaan pesantren pada masa penjajahan Belanda banyak
mengalami kemunduran disebabkan adanya tekanan yang dilakukan
pemerintah Belanda terhadap pesantren. Sehingga pesantren menjadi terpinggirkan, dan pesantren tidak bisa konsentrasi penuh dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan
lembaga sosial, karena pesantren harus ikut berjuang dalam rangka
memerangi kolonialisme Belanda dari bumi nusantara ini. Namun di sisi
lain, hal ini menunjukkan daya tahan pesantren. Walaupun pemerintah
Belanda secara maksimal berusaha untuk membatasi gerak pesantren
melalui tekanan, ancaman, dan kebijakan yang sangat merugikan
pesantren ternyata pesantren masih tetap eksis di tengah-tengah gelora
perjuangan melepaskan diri dari kekangan penjajah Barat (Belanda).
Bahkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, lahir
kegairahan dan semangat baru dari kalangan muslim, pesantren berusaha
keluar dari ketertinggalannya, dipelopori oleh para kiai muda yang baru
menyelesaikan studinya di Mekah, berusaha membuka sistem pendidikan
yang sebanding dengan sistem sekolah, yaitu sistem madrasah. Dengan
sistem ini pesantren dapat berkembang kembali dengan baik dan cepat,
dan mampu menyaingi sekolah-sekolah Belanda seperti contoh pesantren
Tebu Ireng yang memiliki lebih dari 1500 santri (Wahjoetomo, 1997: 77-
78).
Selain itu, kaum santri juga mengalami tumbuhnya kesadaran
untuk bersatu dan mengatur dirinya secara baik, sehingga bermunculan
organisasi-organisasi Islam, seperti SI (Serikat Islam), Muhammadiyah
dan NU. Organisasi-organisasi itu bertujuan untuk membela dan
meningkatkan kualitas beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Elemen-Elemen Pondok Pesantren Tradisional
Dhofier (1994: 44) mengungkapkan bahwa lembaga pendidikan
pesantren memiliki beberapa elemen dasar yang merupakan ciri khas dari
pesantren itu sendiri, elemen itu adalah:
- Pondok atau asrama
- Tempat belajar mengajar, biasanya berupa Masjid dan bisa berbentuk lain.
- Santri
- Pengajaran kitab-kitab agama, bentuknya adalah kitab-kitab yang
berbahasa arab dan klasik atau lebih dikenal dengan istilah kitab kuning.
- Kiai dan ustadz.
Untuk lebih jelasnya akan penulis berikan penjelasan tentang elemenelemen
pesantren tersebut di atas sebagai berikut :
1. Pondok atau Asrama
Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan unsur penting yang
harus ada dalam pesantren. Pondok merupakan asrama di mana para santri
tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya
pondok ini berupa komplek yang dikelilingi oleh pagar sebagai pembatas
yang memisahkan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Namun ada
pula yang tidak terbatas bahkan kadang berbaur dengan lingkungan
masyarakat (Dewan Redaksi, 1993: 103).
Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda, berapa
jumlah unit bangunan secara keseluruhan yang ada pada setiap pesantren
ini tidak bisa ditentukan, tergantung pada perkembangan dari pesantren
tersebut. Pada umumnya pesantren membangun pondok secara tahap demi
tahap, seiring dengan jumlah santri yang masuk dan menuntut ilmu di situ.
Pembiayaannya pun berbeda-beda, ada yang didirikan atas biaya
kiainya, atas kegotong royongan para santri, dari sumbangan masyarakat,
atau bahkan sumbangan dari pemerintah.
Walaupun berbeda dalam hal bentuk, dan pembiayaan
pembangunan pondok pada masing-masing pesantren tetapi terdapat
kesamaan umum, yaitu kewenangan dan kekuasaan mutlak atas
pembangunan dan pengelolaan pondok dipegang oleh kiai yang memimpin
pesantren tersebut.
Dengan kondisi sebagaimana tersebut di atas, maka menyebabkan
ditemuinya bentuk, kondisi atau suasana pesantren tidak teratur, kelihatan
tidak direncanakan secara matang seperti layaknya bangunan-bangunan
modern yang bermunculan di zaman sekarang. Hal inilah yang
menunjukkan ciri khas dari pesantren itu sendiri, bahwa pesantren penuh
dengan nuansa kesederhanaan, apa adanya. Namun akhir-akhir ini banyak
pesantren yang mencoba untuk menata tata ruang bangunan pondoknya
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
2. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan
pesantren, masjid adalah bangunan sentral sebuah pesantren, dibanding
bangunan lain, masjidlah tempat serbaguna yang selalu ramai atau paling
banyak menjadi pusat kegiatan warga pesantren.
Masjid yang mempunyai fungsi utama untuk tempat melaksanakan
sholat berjamaah, melakukan wirid dan do‟a, i‟tikaf dan tadarus al-Qur'an
atau yang sejenisnya (Bawani, 1993: 91-92). Namun bagi pesantren
dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan pengajaran kitabkitab
agama klasik.
Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren
biasanya pertama-tama akan mendirikan Masjid di dekat rumahnya. Hal
ini dilakukan karena kedudukan masjid sebagai sebuah pusat pendidikan
dalam tradisi Islam merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem
pendidikan Islam yang berpusat pada Masjid al-Quba yang didirikan di
dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, dan juga dianut pada
zaman setelahnya, tetap terpancar dalam sistem pendidikan pesantren
sehingga lembaga-lembaga pesantren terus menjaga tradisi ini (Dhofier,
1994: 49).
Bahkan bagi pesantren yang menjadi pusat kegiatan thariqah
masjid memiliki fungsi tambahan, yaitu digunakan untuk tempat amaliyah
ke-tasawuf-an seperti dzikir, wirid, bai‟ah, tawajjuhan dan lainnya.
3. Santri
Istilah ”santri” mempunyai dua konotasi atau pengertian,
pertama; dikonotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan dan
melaksanakan perintah agama Islam, atau dalam terminologi lain sering
disebut sebagai ”muslim orotodoks”. Istilah ”santri” dibedakan secara
kontras dengan kelompok abangan, yakni orang-orang yang lebih
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam, khususnya nilai-nilai
yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha (Raharjo (ed), 1986: 37).
Kedua; dikonotasikan dengan orang-orang yang tengah menuntut ilmu di
lembaga pendidikan pesantren.
Keduanya jelas berbeda, tetapi jelas pula
kesamaannya, yakni sama-sama taat dalam menjalankan syariat Islam
(Bawani, 1993: 93).
Santri dalam dunia pesantren dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu :
a. Santri Mukim
Adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di dalam pondok
yang disediakan pesantren, biasanya mereka tinggal dalam satu
kompleks yang berwujud kamar-kamar. Satu kamar biasanya di isi
lebih dari tiga orang, bahkan terkadang sampai 10 orang lebih.
b. Santri Kalong
Adalah santri yang tinggal di luar komplek pesantren, baik di rumah
sendiri maupun di rumah-rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren,
biasanya mereka datang ke pesantren pada waktu ada pengajian atau
kegiatan-kegiatan pesantren yang lain (Dewan Redaksi, 1993: 105).
Para santri yang belajar dalam satu pondok biasanya memiliki rasa
solidaritas dan kekeluargaan yang kuat baik antara santri dengan santri
maupun antara santri dengan kiai. Situasi sosial yang berkembang di
antara para santri menumbuhkan sistem sosial tersendiri, di dalam
pesantren mereka belajar untuk hidup bermasyarakat, berorganisasi,
memimpin dan dipimpin, dan juga dituntut untuk dapat mentaati dan
meneladani kehidupan kiai, di samping bersedia menjalankan tugas
apapun yang diberikan oleh kiai, hal ini sangat dimungkinkan karena
mereka hidup dan tinggal di dalam satu komplek.
Dalam kehidupan kesehariannya mereka hidup dalam nuansa
religius, karena penuh dengan amaliah keagamaan, seperti puasa, sholat
malam dan sejenisnya, nuansa kemandirian karena harus mencuci,
memasak makanan sendiri, nuansa kesederhanaan karena harus berpakaian dan tidur dengan apa adanya. Serta nuansa kedisiplinan yang tinggi,
karena adanya penerapan peraturan-peraturan yang harus dipegang teguh
setiap saat, bila ada yang melanggarnya akan dikenai hukuman, atau lebih
dikenal dengan istilah ta‟zirat seperti digundul, membersihkan kamar
mandi dan lainnya.
4. Pengajaran Kitab-Kitab Agama Klasik
Salah satu ciri khusus yang membedakan pesantren dengan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain adalah adanya pengajaran kitabkitab
agama klasik yang berbahasa Arab, atau yang lebih populer disebut
dengan ”kitab kuning”.
Meskipun kini, dengan adanya berbagai pembaharuan yang
dilakukan di pesantren dengan memasukkan pengajaran pengetahuan
umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun
pengajaran kitab-kitab Islam klasik terutama karangan-karangan ulama
yang menganut faham Syafi‟iyah tetap diberikan di pesantren sebagai
usaha untuk meneruskan tujuan utama pesantren, yaitu mendidik caloncalon
ulama, yang setia kepada faham Islam tradisional.
Spesifikasi kitab dilihat dari formatnya terdiri dari dua bagian :
materi, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas materi).
Dalam pembagian semacam ini, materi selalu diletakkan di bagian pinggir
(margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh karena
penuturannya jauh lebih banyak dan panjang diletakkan di bagian tengah
kitab kuning (Wahid, 1999: 233).
Bila dilihat dari segi cabang keilmuwannya dapat dikelompokkan
menjadi 8 kelompok, yaitu;
- Nah}wu (syintaq) dan s}araf (morfologi);
- Fiqh;
- Us}ũl fiqh;
- Hadits;
- Tafsir;
- Tauhid;
- Tasawuf dan etika;
- Cabang-cabang lain seperti tarîkh dan balãgah (Wahid, 1999: 233).
Ciri khas lain dalam kitab kuning adalah kitab tersebut tidak
dilengkapi dengan sandangan (syakal) sehingga kerapkali di kalangan
pesantren disebut dengan istilah ”kitab gundul”. Hal ini kemudian
berakibat pada metode pengajarannya yang bersifat tekstual dengan
metode, sorogan dan bandongan.
5. Kiai atau Ustadz
Keberadaan kiai dalam lingkungan pesantren merupakan elemen
yang cukup esensial. Laksana jantung bagi kehidupan manusia begitu
urgen dan pentingnya kedudukan kiai, karena dialah yang merintis,
mendirikan, mengelola, mengasuh, memimpin dan terkadang pula sebagai
pemilik tunggal dari sebuah pesantren Oleh karena itu, pertumbuhan suatu pesantren sangat bergantung
kepada kemampuan pribadi kiainya, sehingga menjadi wajar bila kita
melihat adanya banyak pesantren yang bubar, lantaran ditinggal wafat
kiainya, sementara dia tidak memiliki keturunan yang dapat meneruskan
kepemimpinannya.
Gelar kiai, sebagaimana diungkapkan Mukti Ali yang dikutip
Bawani (1993: 90), biasanya diperoleh seseorang berkat kedalaman ilmu
keagamaannya, kesungguhan perjuangannya di tengah umat, kekhusyu‟annya dalam beribadah, dan kewibawaannya sebagai pemimpin.
Sehingga semata hanya karena faktor pendidikan tidak dapat menjamin
bagi seseorang untuk memperoleh predikat kiai, melainkan faktor bakat
dan seleksi alamiah yang lebih menentukannya.
Di masyarakat, kiai merupakan bagian dari kelompok elite dalam
struktur sosial, politik dan ekonomi, yang memiliki pengaruh yang amat
kuat di masyarakat, biasanya mereka memiliki suatu posisi atau
kedudukan yang menonjol baik pada tingkat lokal maupun nasional.
Dengan demikian kiai merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam
sistem kehidupan sosial, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi
juga dalam soal-soal politik.
Dengan kelebihan pengetahuannya dalam bidang agama, para kiai
seringkali dianggap sebagai orang yang senantiasa dapat memahami
keagungan Tuhan dan rahasia alam sehingga mereka dianggap memiliki
kedudukan yang tidak terjangkau oleh kebudayaan orang awam, atau
dalam istilah lazimnya disebut ”kiai khos” sehingga dalam beberapa hal
mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian seperti
kopiah dan surban serta jubah sebagai simbol kealiman.
Di lingkungan pesantren, seorang kiai adalah hirarki kekuasaan
satu-satunya yang ditegakkan di atas kewibawaan moral sebagai
penyelamat para santri dari kemungkingan melangkah ke arah kesesatan,
kekuasaan ini memiliki perwatakan absolut sehingga santri senantiasa
terikat dengan kiainya seumur hidupnya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moral dalam kehidupan pribadinya (Wahid, 2001:
6-7).
Dari uraian tersebut, perlu diingat bahwa yang digambarkan adalah
pesantren yang masih dalam bentuknya yang murni, atau dalam studi
kepesantrenan disebut dengan istilah pesantren tradisional, sehingga kalau kita
menongok perkembangan pesantren saat sekarang tentunya akan dapat kita
lihat usaha-usaha untuk mendorong terjadinya perubahan pada unsur-unsur
pesantren, disesuaikan dengan dinamika dan kemajuan zaman.
Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren Tradisional
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa komponen pesantren salah
satunya adalah berupa pondok atau tempat tinggal, sehingga dapat dipahami
bahwa sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem asrama, di mana
santri tinggal satu komplek bersama kiai, dan juga adanya pengajaran kitabkitab
klasik, yang berbahasa Arab yang tentunya dalam memahaminya
diperlukan adanya metode-metode khusus yang menjadi ciri khas dari pondok
pesantren.
Pesantren sebagaimana kita ketahui, biasanya didirikan oleh
perseorangan (kiai) sebagai figur sentral yang berdaulat dalam mengelola dan
mengaturnya. Hal ini, menyebabkan sistem yang digunakan di pondok
pesantren, berbeda antara satu dan yang lainnya. Mulai dari tujuan, kitab-kitab
(atau materi) yang diajarkan, dan metode pengajarannya pun berbeda. Namun
secara garis besar terdapat kesamaan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional, pada umumnya
tidak memiliki rumusan tujuan pendidikan secara rinci, dijabarkan dalam
sebuah sistem pendidikan yang lengkap dan konsisten direncanakan dengan
baik. Namun secara garis besar, tujuan pendidikan pesantren dapat
diasumsikan sebagai berikut :
- Tujuan Umum, yaitu untuk membimbing anak didik (santri) untuk
menjadi manusia yang berkepribadian islami yang sanggup dengan ilmu
agamanya menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu
dan amalnya.
- Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang
yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan
serta mengamalkannya dalam masyarakat (Arifin, 1991: 110-111).
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, pesantren
menyelenggarakan proses pembelajaran kitab yang dikenal dengan kitab
kuning (kitab-kitab agama Islam klasik). Dalam penggunaan kitab kuning di
pesantren tidak ada ketentuan yang harus mewajibkan kitab-kitab tertentu,
biasanya hal ini disesuaikan dengan sistem pendidikan yang digunakan, ada
yang hanya menggunakan sistem pengajian, tanpa sistem madrasah, ada yang
sudah menggunakan sistem madrasah klasikal. Ada pula pesantren yang
menggabungkan sistem pengajian dan sistem madrasah secara non klasikal
(Wahid, 1999: 147-148).
Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren yang dijadikan kurikulumnya
meliputi kitab yang kecil dan pendek sampai kitab yang berjilid-jilid, sehingga menurut (Dhofier, 1994: 50-51) dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu :
- Kitab-kitab dasar;
- Kitab-kitab tingkat menengah;
- Kitab-kitab
besar.
Diantara kitab-kitab tersebut yang populer digunakan, yang termasuk
kitab dasar antara lain; Bina‟ (s}orf), ‘Awãmil (nah}wu), ‘Aqidãt al- Awãm
(akidah), Was}oya (akhlak).
Kitab-kitab menengah meliputi Amsilãt al-Tas}rifiyyah (S}orf
Tsanawiyah), Kailãni, Maqs}ũd (S}orf Aliyah), Jurumiyah, ‘Imrit}i,
Mutammimah (Nah}wu Tsanawiyah), Alfiyyah Ibnu ‘Aqil (Nah}wu Aliyah),
Taqrîb, Safînah, Sullam al-Taufîq (Fiqh Tsanawiyah), Bayan (Us}ũl Fiqh
Tsanawiyah-Aliyah), Fath} al-Mu’în, Fath} al-Qarîb, Kifãyat al-Akhyãr, Fath}
al-Wahhãb, Mah}alli, Tahrîr (fiqh/Aliyah), Kifãyat al-‘Awãm, Jauhãr alTauhîd,
al-Husũm al-Hamidiyah (akidah/ Tsanawiyah), Jalãlain, Tafsîr
Munir, Ibnu Katsîr, al-Itqãn (Tafsîr-Ulũm al-Tafsîr/Aliyah) Bulũg al-Marãm,
S}ahîh Muslîm, Arba’în Nawãwi, Baiquniyah (H}adîts, Ulũm alH}adîs\/Tsanawiyah),
Riyãd} al-S}alihîn, Durrãt al-Nãs}ih}în, Minhãj al-Mughîs\
(H}adîs\ ulũm H}adîs\ /Aliyah) Ta’lîm al-Muta’alim, Bidãyatul al-Hidãyah
(Akhlak/Tsanawiyah), Ih}ya’Ulũm al-Din, Risãlat al-Munawanah (Akhlak
/Aliyah), Khulãs}ah Nur al-Yaqîn (tarîkh).
Kitab khawãs (tinggi) meliputi, Jam’u al-Jawãwi, Al-Asybãh wa alNadhãir
(Us}ũl Fiqh), fathu al Majîd (Aqîdah), Jami’ al-Bayan, al-Manãr,
S}ahîh Bukhãri (H}adîs\).
Di samping kitab-kitab di atas, di pesantren juga biasanya terdapat
amalan-amalan yang dilakukan dengan menggunakan kitab-kitab tertentu, di
antaranya kitab manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani, kitab Dalãil al-Khairãt,
kitab Mujarabãt yang biasanya dibaca sebagai wirid lelakon puasa dan
lainnya.
Pelaksanaan pengajaran kitab ini dilakukan secara bertahap, dari kitabkitab
yang dasar yang merupakan kitab-kitab pendek dan sederhana, kemudian
ketingkat lanjutan menengah dan baru setelah selesai menginjak kepada kitabkitab
takhasus, dan dalam pengajarannya dipergunakan metode-metode
seperti, sorogan, bandongan, hafalan, mudzakaroh dan majlis ta‟lim.
Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan masing-masing metode
tersebut sebagaimana berikut :
1. Metode Hafalan
Metode hafalan adalah metode pengajaran dengan mengharuskan
santri membaca dan menghafalkan teks-teks kitab yang berbahasa arab
secara individual, biasanya digunakan untuk teks kitab nadhom, seperti
aqidat al-awam, awamil, „imrit}i, alfiyah dan lain-lain.
Dan untuk memahami maksud dari kitab itu guru menjelaskan arti
kata demi kata dan baru dijelaskan maksud dari bait-bait dalam kitab
nadhom. Dan untuk hafalan, biasanya digunakan istilah setor, yang mana
ditentukan jumlahnya, bahkan kadang lama waktunya.
2. Metode Weton/Bandongan
Metode ini disebut weton, karena pengajiannya atas inisiatif kiai
sendiri, baik dalam menentukan kitab, tempat, waktunya, dan disebut
bandongan, karena pengajian diberikan secara berkelompok yang diikuti
oleh seluruh santri (Wahjoetomo, 1997: 83).
Proses metode pengajaran ini adalah santri berbondong-bondong
datang ke tempat yang sudah ditentukan oleh kiai, kiai membaca suatu
kitab alam waktu tertentu, dan santri membawa kitab yang sama sambil
mendengarkan dan menyimak bacaan kiai, mencatat terjemahan dan
keterangan kiai pada kitab itu yang disebut dengan istilah maknani,
ngasahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas, tidak
terikat pada absensi, dan lama belajarnya, hingga tamatnya kitab yang di
baca, tidak ada ujian, sehingga tidak bisa diketahui apakah santri sudah
memahami atau belum tentang apa yang di baca oleh kiai.
3. Metode Sorogan
Metode ini, adalah metode pengajaran dengan sistem individual,
prosesnya adalah santri dan biasanya yang sudah pandai, menyodorkan
sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di depan kiai, dan kalau ada
salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kiai (Ali, 1981: 19).
Di pondok pesantren, metode ini dilakukan hanya oleh beberapa
santri saja, yang biasanya terdiri dari keluarga kiai atau santri-santri
tertentu yang sudah dekat dengan kiai atau yang sudah dianggap pandai
oleh kiai dan diharapkan di kemudian hari menjadi orang alim.
Dari segi teori pendidikan, metode ini sebenarnya metode modern,
karena kalau kita pahami prosesnya, ada beberapa kelebihan di antaranya,
antara kiai-santri saling kenal mengenal, kiai memperhatikan
perkembangan belajar santri, dan santri juga berusaha untuk belajar aktif
dan selalu mempersiapkan diri. Di samping kiai mengetahui materi dan
metode yang sesuai untuk santrinya. Dalam belajar dengan metode ini
tidak ada unsur paksaan, karena timbul dari kebutuhan santri sendiri.
4. Metode Mudzakaroh / Musyawarah.
Metode mudzakaroh atau musyawarah adalah sistem pengajaran
dengan bentuk seminar untuk membahas setiap masalah keagamaan atau
berhubungan dengan pelajaran santri, biasanya hanya untuk santri tingkat
tinggi (Dewan Redaksi, 1993: 104).
Metode ini menuntut keaktifan santri, prosesnya santri di sodori
masalah keagamaan tertentu atau kitab tertentu, kemudian santri
diperintahkan untuk mengkajinya sendiri secara berkelompok, peran kiai
hanya menyerahkan dan memberi bimbingan sepenuhnya.
5. Metode Majlis ta‟lim
Metode ini biasanya bersifat umum, sebagai suatu media untuk
menyampaikan ajaran Islam secara terbuka, diikuti oleh jamaah yang
terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, juga berlatar belakang
pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau
perbedaan kelamin. Pengajian ini dilakukan secara rutin atau waktu-waktu
tertentu.
Kurikulum Pondok Pesantren Tradisional
Sebagai lembaga pendidikan pesantren menyelenggarakan dapat
formal dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama
yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran ulama (kiai). Kurikulum
yang dicapai di pondok pesantren terpusat pada pendalaman ilmu-ilmu agama
lewat pengajian kitab-kitab klasik dan sikap hidup beragama.
Maka bila kita bicara kurikulum pesantren. Apa yang terjadi
dilaksanakan di pesantren mulai dari pagi hingga malam itulah kurikulum
pendidikan pesantren.
Untuk melihat kurikulum pendidikan pesantren terlebih dahulu penulis
bertolak pada pengklasifikasian pesantren untuk memudahkan klasifikasi
pesantren. Rahim (2000: 248) berpendapat bahwa pesantren tradisional (salaf)
yaitu pesantren yang pengajarannya masih menggunakan sistem sorogan,
wetonan atau bandongan tanpa kelas dan batas umur.
Mengenai bentuk-bentuk pendidikan di pesantren, kini sangat
bervariasi yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi 5 tipe, yakni:
- Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kurikulum nasional.
- Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan
kurikulum nasional.
- Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk
madrasah diniyah.
- Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majelis ta'lim).
- Pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa
(Azizi, 2002: viii).
Beberapa jenis kurikulum pesantren menurut Wahid (2002: 113-114)
antara lain:
1. Kurikulum pengajian non-sekolah, dimana santri belajar pada beberapa
orang kiai atau guru dalam sehari semalamnya.
2. Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiyah), di mana pelajaran
telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang
berlaku untuk semua santri.
3. Pondok pesantren, di mana kurikulumnya bersifat klasikal dan masingmasing
kelompok mata pelajaran agama dan non agama telah menjadi
bagian integral dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang.