PENGERTIAN SECARA BAHASA DAN ISTILAH
Secara etimologi, metodologi berasal dari kata method dan logos. Method artinya
cara dan logos artinya ilmu. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang cara.
Menurut Ahmad Tafsir (1995:9) metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat
dalam melakukan sesuatu. dalam hal ini ilmu tentang cara studi Islam. Abraham Kaflan
yang dikutip Abuy Sodikin (2000:4) menjelaskan bahwa metodologi adalah pengkajian
dengan penggambaran (deskripsi), penjelasan (explanasi) dan pembenaran (justifikasi).
Berdasarkan pendapat Kaflan, metodologi mengandung unsur-unsur:
1. Pengkajian (study)
2. Penggambaran (deskripsi)
3. Penjelasan (ekplanasi)
4. Pembenaran (justifikasi)
Studi berasal dari bahasa Inggris, study artinya mempelajari atau mengkaji, yang berarti
pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik Islam sebagai sumber ajaran, pemahaman,
maupun pengamalan.
Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata salima dan aslama. Salima mengandung arti
selamat, tunduk dan berserah. Aslama juga mengandung arti kepatuhan, ketundukan,
dan berserah. Orang yang tunduk, patuh dan berserah diri kepada ajaran Islam disebut
muslim, dan akan selamat dunia akhirat. Secara istilah, Islam adalah nama sebuah agama
samawi yang disampaikan melalui para Rasul Allah, khususnya Rasulullah Muhammad
SAW, untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Di Barat kajian Islam terkenal dengan Islamic Studies, yaitu usaha mendasar dan
sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk
beluk yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya, maupun
praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang
sejarahnya (Djamaluddin, 1999:127). Metodologi studi Islam adalah prosedur yang
ditempuh secara ilmiah, cepat dan tepat dalam mempelajari Islam secara luas dalam
berbagai aspeknya, baik dari segi sumber ajaran, pemahaman terhadap sumber ajaran
maupun sejarahnya.
Dalam metodologi Studi Islam terdapat prosedur ilmiah, sebagai ciri pokoknya, yang
membedakan dengan studi Islam lainnya yang tanpa metodologi. Kegiatan pengajian misalnya, berbeda dengan kegiatan pengkajian. Pengajian adalah proses memperoleh
pengetahuan Islam yang bersifat normatif-teologis bersumber pada Alquran dan Sunnah
yang dipahami berdasarkan salah satu pemahaman tokoh madzhab tertentu. Hasilnya
umat memperoleh dan mengamalkan pengetahuan Islamnya sesuai dengan pemahaman
madzhabnya.
Benar dan salah diukur oleh pendapat madzhabnya. Dalam pengajian Islam
tidak dibuka wacana dan pemahaman lain selain paham madzhabnya. Jika suatu kali
menyentuh paham madzhab lain, tidak dibahas apalagi dipertimbangkan, akan tetapi
segera dianggap sesuatu yang keliru, sesat, menyimpang dan tidak jarang dikafirkan.
Umat nyaris tidak tahu ada banyak paham madzhab lain yang juga benar. Umat Islam
pada umumnya hanya tahu bahwa Islam satu, yang benar itu satu yakni menurut madzhab
tertentu.
Di Indonesia dalam pengajian itu umumnya kalau dalam bidang tauhid madzhabny
Asyariah/Ahlussunah waljamaah, bidang fikih madzhabnya Imam Syafi’i, bidang tasawuf
madzhab suni bercorak amali. Pengajian biasanya diselenggarakan dalam majelis-majelis
taklim dengan berbagai bentuknya, begitu juga kebanyakan madrasah dan pesantren dalam
mempelajari Islam lebih mirip kegiatan pengajian ketimbang pengkajian.
Kelebihan dari pengajian, umat memperoleh pengetahuan yang simpel, sederhana dan
merasa mantap dengan pengetahuan yang diperolehnya.
Adapun kelemahannya amat
banyak yaitu antara lain:
- Umat pengetahuannya terbatas hanya pada satu madzhab tertentu, padahal masih
terdapat banyak madzhab yang lain, yang boleh jadi lebih relevan.
- Umat menjadi kaku ketika berhadapan dengan umat lain yang berbeda madzhab.
Mereka mengira hanya ada satu madzhab dan hanya madzhabnya saja yang benar.
- Umat tidak memiliki pilihan alternatif pemikiran sesuai dengan perkembangan tempat
dan zaman yang perkembangannya sangat dinamis.
Berbeda dengan pengajian Islam, pengkajian Islam adalah proses memperoleh
pengetahuan Islam yang disamping bersifat normatif-teologis, juga bersifat empiris
dan historis dengan prosedur ilmiah. Islam dikaji dari berbagai aspeknya seperti aspek
ibadah dan latihan spritual, teologi, filsafat, tasawuf, politik sejarah kebudayaan Islam
dan lain-lain. Pada setiap aspek dikaji aliran dan madzhab-madzhabnya.
Sehingga Islam
yang satu nampak memiliki ajaran yang banyak jenisnya dan tiap jenis ajaran memiliki
ajaran spesifik dari berbagai madzhab atau aliran. Dengan demikian Islam yang satu
memiliki ragam ajaran, ragam pemahaman dan ragam kebenaran. Dengan mengetahui
Islam dari berbagai aspeknya dan dari berbagai madzhab dan alirannya melalui metode
yang sistematis, seseorang akan memiliki pengetahuan Islam yang komprehensif.
Kajian Islam seperti ini, biasanya diselengarakan di Perguruan Tinggi Islam dan
lembaga-lembaga kajian keislaman.
Kelebihan kajian Islam antara lain:
- Memberikan wawasan yang luas tentang Islam baik dari segi aspek-aspek ajarannya
maupun dari segi aliran-aliran pemikirannya.
- Umat akan memiliki sikap pleksibel jika berhadapan dengan pihak lain yang berbeda
aliran madzhabnya, bahkan berbeda agamanya.
- Umat akan memiliki banyak alternatif untuk menganut salah satu pemikiran, madzhab
atau pemahaman yang dianggap lebih sesuai dan meyakinkan jiwa dan pikirannya
sesuai dengan situasi, tempat dan zaman yang selalu berkembang dinamis.
Selain itu umat Islam akan semakin toleran terhadap pihak lain yang berbeda pendapat.
SIGNIFIKASI METODOLOGI STUDI ISLAM
Hingga sekarang umat Islam Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa Islam,
agama yang bersifat sempit. Anggapan ini timbul karena salah dalam mengartikan hakikat
Islam. Kekeliruan itu terjadi karena pengajian tadi, dan kurikulum pendidikan hanya
menekankan pada aspek ibadah, tauhid, Alquran, Sunnah. Itupun mengajarkannya hanya
menurut satu madzhab dan aliran saja, jadi identik dengan pengajian Islam.
Sebetulnya ada juga orang yang pengetahuannya cukup luas dan mendalam, namun
tidak terkoordinasi dan tersusun secara sistematis.
Hal yang demikian menurut Abudin
Nata (1998:95) karena orang yang bersangkutan ketika menerima ajaran Islam tidak
sistematik dan terkoordinasi. Biasanya mereka belajar ilmu dari berbagai guru, namun
antara satu guru dengan guru lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak memiliki
satu acuan yang sama semacam kurikulum, akibatnya tidak dapat melihat hubungan yang
terdapat dalam berbagai pengetahuan yang dipelajarinya.
Di masyarakat Indonesia juga ditemukan orang yang penguasaannya terhadap salah
satu bidang keilmuan cukup mendalam tetapi kurang memahami bidang keilmuan Islam
yang lainnya.
Kemudian apakah
persoalannya selesai, dan apakah fatwanya dipatuhi? Ternyata fatwa tersebut belum
menyelesaikan masalah. Karena terkait dengan banyak hal, misalnya tenaga kerja,
ekonomi, kesehatan, bukan semata-mata urusan fikih. Maka menyelesaikannya harus
secara komprehensif melibatkan banyak pihak. Contoh di atas menggambarkan bahwa
pemahaman masyarakat terhadap Islam masih bersifat parsial belum utuh. Yang demikian
boleh jadi akibat proses pengkajian Islam belum tersusun secara sistematis dan tidak
disampaikan dengan pendekatan dan metode yang tepat Oleh karena itu Mukti Ali berpendapat bahwa metodologi adalah masalah yang sangat
penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Metode diperlukan agar dapat menghasilkan
pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif (Abuddin Nata, 1998:98).
Pentingnya metodologi juga digambarkan oleh Abuy Sodikin (2000:6) : Pertama,
sebagaimana gagasan awal lahirnya bidang studi Metodologi Studi Islam di Perguruan
Tinggi Agama Islam untuk mengupayakan cara yang cepat dan tepat dalam mempelajari
Islam. Kedua usaha untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah
dan warisan intelektual dari masa lalu sampai sekarang. Dalam istilah Nurcholish Madjid
(1995:4) agar dapat menjawab tantangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Kemampuan menjawab tantangan ini, banyak tergantung
kepada pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengan pola pikir
ilmiah yang islami. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan metodologis dalam melakukan
studi tentang Islam dalam berbagai dimensinya itu agar sesuai dengan tantangan yang
dihadapi.
Ketiga, ajaran Islam sendiri menuntut dipelajari dan dipahami melalui prosedur
yang tepat, yaitu memahami ruang lingkup dan isinya.
Masih berkaitan dengan signifikasi metodologi studi Islam Atang Abdul Hakim dan
Jaih Mubarok (2000:7-8) menyimpulkan bahwa umat Islam masih didominasi oleh
pandangan yang eklusivisme. Suatu pandangan yang menganggap bahwa ajaran yang
paling benar hanyalah agama atau madzhab aliran yang dianutnya, agama atau madzhab
lain sebagai sesat dan perlu dijauhi bahkan dimusnahkan. Selanjutnya menurut Atang
sikap eklusivisme dipandang wajar karena kalangan umat Islam Indonesia dulu dalam
studi Islam tidak sistematis, tidak komprehensif alias tanpa metodologi yang tepat. Tapi
apapun penyebabnya perlu ditekankan pentingnya merubah pandangan yang ekstrim
dengan pandangan yang bijaksana dan memancarkan rahmat bagi semua.
Tentu saja
dimulai dari perubahan format dalam studi Islam.
Selanjutnya Atang (2000:8) mengutip pendapat Harun Nasution yang berpendapat
bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan
agama terutama dari segi etika dan moralitasnya kurang memadai. Senada dengan hal itu,
Masdar F. Masudi berpendapat bahwa kesalahan umat Islam Indonesia ialah mengabaikan
agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai
makhluk yang bermartabat dan berakal budi. Sehingga orang terperangah ketika ada hasil
survei mengungkapkan Indonesia termasuk salah satu negara korup di dunia. Sedangkan
90 persen penduduk Indonesia muslim dan pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar
Islam.
Selanjutnya Atang mengatakan signifikasi studi Islam di Indonesia adalah mengubah
pemahaman dan penghayatan keilmuan masyarakat muslim Indonesia sehingga:
1. Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif.
2. Sikap eklusivisme dirubah menjadi sikap inklusifisme dan atau sikap universalisme.
3. Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam masyarakat yang
heterogen.
Dengan demikian dapat dipahami, Metodologi Studi Islam adalah prosedur yang
ditempuh dalam mempelajari Islam dengan cepat, tepat dan menyeluruh, yakni dari
berbagai aspeknya dan berbagai alirannya. Karenanya MSI mempunyai arti penting
dalam menempuh prosedur studi Islam yang dapat mengubah pemahaman masyarakat
Muslim Indonesia dari pemahaman semula yang sempit menjadi pemahaman yang
luas. Dari sikap yang ekstrim menjadi sikap yang toleran, bijaksana. Sikap toleran tidak
berarti akidahnya lemah. Posisi akidah seperti dikatakan Ahmad Tafsir (2008:63) dalam
keseluruhan ajaran Islam sangat penting. Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang
mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan.
Akidah merupakan
fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah itulah keseluruhan ajaran Islam
berdiri dan didirikan.
Karena kedudukan akidah demikian penting, maka akidah seseorang muslim harus
kuat. Dengan kuat akidahnya akan kuat pula keislamannya secara keseluruhan.
Untuk
memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua hal:
1. Mengamalkan keseluruhan ajaran Islam sesuai kemampuan secara sungguh-sungguh.
2. Mempertajam dan memperluas pengertian tentang ajaran Islam.
Jadi akidah dapat
diperkuat dengan pengamalan, pengalaman dan pemahaman.
OBJEK STUDI ISLAM
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa studi Islam atau Islamic Sudies adalah
kajian ilmiah berkaitan dengan Islam, prosedur dalam memahami Islam secara ilmiah.
Oleh karena itu yang menjadi objek studi Islam adalah ajaran Islam itu sendiri dalam
berbagai aspeknya dan berbagai madzhab alirannya. Ajaran Islam tidak hanya sebatas
ibadah dalam arti sempit, tetapi meliputi interaksi sosial kemasyarakatan. Sejauh ini,
umat Islam Indonesia menduga bahwa Islam hanya salat, zakat, puasa, haji dan dzikir.
Di
samping itu, sebagian kaum muslim masih menduga bahwa pemahaman Islam itu bersifat
permanen, sehingga penafsiran atas ajaran Islam harus mengikuti penfsiran-penafsiran
ulama, terutama ulama masa klasik.
Kalangan ahli belum sepakat tentang apakah studi agama Islam dapat dimasukan
ke dalam kelompok ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu
pengetahuan (sain) berbeda. Amin Abdullah ( 1996: 106) misalnya, menyatakan
jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiah hanya
mendengarkan dakwah keagamaan dalam kelas, apa bedanya dengan kegiatan pengajian
dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di bangku kuliah.
Menanggapi kritik
tersebut, Amin Abdullah menyatakan bahwa pangkal tolak kesulitan pengembangan scope
wilayah kajian Islamic studies berakar pada kesulitan para agamawan untuk membedakan
antara yang normativitas dan historisitas. Pada tataran normativitas kelihatan Islam kurang
pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, dari sisi normativitas studi Islam masih banyak
terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, sehingga kadar muatan analitis , kritis, metodologis kurang menonjol, kecuali di kalangan para peneliti yang jumlahnya
terbatas.
Sedangkan untuk tataran historisitas, yakni jika dilihat dari segi historis, Islam
dalam arti yang dipraktekan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah
kehidupan manusia justru telah menjadi ilmu pengetahuan Islam yaitu sebuah disiplin
ilmu, yakni ilmu Ke-Islaman atau Islmic Studies. (Abuddin Nata, 1998: 102-103).
Untuk memantapkan studi Islam ini, perlu dipahami juga pemetaan ajaran Islam kepada
beberapa kategori, misalnya dua wilayah, yaitu yang absolut-mutlak (sakral) dan Nisbiyzhanniy
(profan).
Islam sebagai the original text bersifat mutlak dan absolut, sedangkan
Islam yang berupa hasil pemikiran dan praktek umat Islam bersifat relatif-temporal,
berubah sesuai dengan perubahan konteks zaman dan konteks sosial. Dengan demikian,
yang menjadi obyek studi islam semua hal yang membicarakan tentang Islam, mulai dari
level wahyu (nash), hasil pemikiran ulama hingga level praktek yang dilakukan masyarakat
Muslim. Perbedaan-perbedaan studi Islam ini meniscayakan adanya perbedaan dalam
menentukan pendekatan dan metode yang digunakan.
Jauh sebelum wacana di atas, Harun Nasution telah merancang objek kajian Islam yang
membaginya menjadi beberapa aspek, melalui dua buah bukunya yang berjudul Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Dalam perkembangan berikutnya Studi Islam diarahkan
pada delapan bidang sesuai dengan pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) pada tahun 1982 yakni meliputi:
- Sumber ajaran yakni Alquran dan Hadits,
- Pemikiran Dasar Islam, yang meliputi Kalam, Falsafat dan tasawuf,
- Fikih dan Pranata
Sosial,
- Sejarah Kebudayaan Islam,
- Dakwah,
- Pendidikan Islam,
- Bahasa dan
Sastera Arab,
- Pembaharuan Pemikiran dalam Islam.
Khusus nomor delapan sejak tahun
1997 direkomendasikan oleh kelompok pakar untuk dimasukan kedalam setiap bidang
dari nomor 1 hingga nomor
PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Perkembangan studi Islam terkait erat dengan perkembangan pendidikan Islam yang
membahas kurikulum dan kelembagaannya baik di dunia Islam, dunia Barat maupun di
Indonesia sendiri. Bahan bagian ini diadaptasi dari Pengantar Studi Islam Hadidjah dan
M. Karman al-Kuninganiy (2008:11-21).
1. Studi Islam di Dunia Islam
Dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan
nama al-jami’ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid jami’
(tempat berkumpul jama’ah untuk menunaikan salat Jum’at) (Munir ud-Din Ahmed,
2002:8). Al-Jami’ah yang paling awal dengan pretensi sebagai lembaga pendidikan
tinggi, tercatat Al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. Tetapi, aljami’ah-al-jami’ah
ini yang diakui sebagai universitas tertua di muka bumi, hingga
dilakukannya pembaharuan dalam beberapa dasawarsa silam, lebih tepat disebut
“madrasah tinggi” dari pada “universitas”.
Azyumardi Azra juga mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik
madrasah (sekalipun menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, advanced education),
maupun al-jami’ah, yang memang dimaksudkan sebagai pendidikan tinggi, tidak
pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan
tradisi penelitian bebas berdasarkan nalar, sebagaimana terdapat di Eropa pada masa
modern. Bahkan, universitas di Eropa yang akar-akarnya dapat dilacak dari al-jami’ah,
seperti ditegaskan Stanton berdasarkan penelitian al-Makdisi (1981 dan 1990) hingga
abad ke-18, juga tidak bebas sepenuhnya.
Universitas abad pertengahan, bahkan pada
umumnya berafiliasi dan terkait kepada gereja.
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jami’ah diabdikan, terutama
untuk ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada bidang fikih, tafsir dan hadis. Ijtihad,
walaupun diberikan ruang gerak, tetapi tidak dimaksudkan berpikir sebebas-bebasnya,
kecuali sekedar memberikan penafsiran “baru” atau pemikiran “independen” yang
tetap berada dalam kerangka doktrin yang mapan dan disepakati.
Dengan demikian,
ilmu-ilmu non agama, terutama yang eksakta yang merupakan akar pengembangan
sains dan teknologi sejak awal telah termarjinalkan (Khozin, 2001:56). Kondisi seperti
ini berbeda dengan dasar Islam yang tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan
non agama. Al-Ghazali (1085-1111M) disebut-sebut sebagai “yang bertanggungjawab”
memisahkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non agama. Menuntut ilmu agama
wajib bagi setiap Muslim, sedangkan wajib kifayah untuk menuntut ilmu-ilmu umum.
Sebenarnya, sebelum kehancuran Mu’tazilah pada masa Makmun (198-218/813-
833), ilmu umum yang berlandaskan kajian-kajian empiris telah dipelajari di madrasah.
Dengan kesan mencurigai ilmu-ilmu umum yang berbasiskan nalar itulah maka ilmuilmu
tersebut dihapuskan dari madrasah. Para peminat kepada ilmu-ilmu umum
tersebut akhirnya belajar sendiri-sendiri, karena ilmu-ilmu agama dipandang sebagai
yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni, terutama dalam bidang kalam
dan fikih. Jadi, pada masa sebelum khalifah al-Makmun, sains mencapai puncaknya,
hampir dipastikan bukan mucul dari madrasah, tetapi hasil kegiatan ilmiah individuindividu
ilmuwan Muslim yang disemangati oleh scientific inquiry (penyelidikan ilmiah)
untuk membuktikan kebenaran-kebenaran Alquran, terutama yang bersifat kauniyah
(kealaman).
Menurut catatan sejarah, ada empat perguruan tinggi yang disebut-sebut sebagai
kiblat bagi pengembangan studi Islam di dunia Muslim, yang selanjutnya diikuti
oleh para orientalis dalam studi Islam di kalangan sarjana Barat. Pertama, Madrasah
Nizhamiyah di Nisyafur. Madrasah ini, menurut Ibnu Khalikan (w. 681-1282) dibangun
oleh Nizham al-Mulk untuk al-Juwaini, tokoh Asy’ariah, dan sekaligus guru besar
di madrasah ini selama tiga dekade hingga wafatnya pada 478/1085 (Hasan Asari,
1994:57). Madrasah ini terdiri dari tiga bagian inti, gedung madrasah, masjid dan
perpustakaan (bayt al-maktab). Madrasah ini memiliki beberapa staff, yaitu seorang
guru besar (mudarris) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengajaran, seorang ahli Alquran (muqri’), ahli hadis (muhaddits), dan pengurus perpustakaan, yang
bertanggungjawab terhadap tugasnya masing-masing. Tercatat nama-nama seperti
al-Juwaini, Abu al-Qasim, al-Kiya al-Harrasi, al-Ghazali dan Abu Sa’id sebagai mudarris,
Abu al-Qasim, al-Hudzali dan Abu Nasyar al-Ramsyi sebagai muqri’, Abu Muhammad
al-Samarqandi sebagai muhaddits, dan Abu Amir al-Jurjani sebagai pustakawan. AlGhazali
pernah tercatat sebagai asisten al-Juwaini.
Kedua, madrasah di Baghdad berdiri tahun 455/1063 yang dibangun oleh khalifah
al-Makmun (813-833 M), yang dilengkapi dengan perpustakaan termasyur, Bayt alHikmah.
Berbeda dengan madrasah Nizhamiyyah di Nisyafur, di Baghdad tidak memiliki
masjid. Sebagai madrasah terbesar di zamannya, madrasah ini diajar oleh para guru
besar yang memiliki reputasi tinggi, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476/1083), al-Kiya
al-Harasi, dan al-Ghazali (1058-1111 M) yang tercatat sebagai pemikir terbesar dengan
sebutan Imam al-Ghazali dan pengaruhnya cukup kuat di Timur. Madrasah yang beridiri
hampir dua abad ini akhirnya hancur, sekaligus melambangkan kehancuran Islam
pada masa pemerintahan Abbasiah, setelah Hulagu Khan (1256-1349 M) melakukan
penyerbuan besar-besaran ke Baghdad.
Ketiga, Universitas Al-Azhar di Kairo. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir ini tidak
terlepas dari eksistensi Abbasiah-Syiah yang pengaruh kekuatan politiknya mulai
melemah. Di sinilah wilayah-wilayah kekuasaan Daulat Ababsiah seperti Thahiriyah,
Safawiyah, Samawiyah, Thuluniyah, Fathimiyah, Ghaznawiah, dan lain-lain menuntut
otonomisasi. Daulah Fathimiyah (909-1171 M) misalnya, segera bangkit di Tunis.
Ubaidillah al-Mahdi diangkat sebagai khalifah pertama Fathimiyah yang beraliran
Syiah. Pada masa pemerintahan Muiz li Dinillah (952-975 M), khalifah IV dari
Fathimiyah, Lybia dan Mesir berhasil ditaklukkan di bawah panglima besarnya, Jauhar
al-Siqili (362 H/972 M) dari Daulah Abbasiah, yang dikenal sebagai pendiri ibukota
baru Mesir, Kairo (dulu Fustat). Kemudian ibu kota Syria dipindahkan dari Tunis ke
Kairo, Mesir. Al-Siqili pula yang membangun perguruan tinggi Al-Azhar berdasarkan
ajaran sekte Syiah. Selanjutnya, pada masa khalifah al-Hakim bin Amrillah (996-1020
M), dibangun perpusatakaan terbesar di Kairo, Bait al-Hikmah, yang disebut-sebut
sebagai corong propaganda kesyiahan. Konon, al-Hakim mengeluarkan dana 275
dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang
dikembangkan lebih banyak ber-orientasi pada masalah-masalah keislaman, astronomi
dan kedokteran. Ali Ibn Yunus, Ali al-Hasan, dan Ibnu al-Haitam, tercatat sebagai tokoh
yang mengembangkan ilmu astronomi.
Dalam masa ini kurang lebih seratus karya
tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Bahkan, pada
masa al-Muntasir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku. Pada
tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin al-Ayyubi (1171-1193 M) berhasil merebut Daulah
Fathimiyah dan mendirikan Daulat Ayubiyyah (1171-1269 M) dan menyatakan tunduk
kembali kepada Abbasiah. Al-Azhar saat itu beralih kurikulum dan orientasi Syi’ah ke
Sunni, tetapi Al-Azhar tetap berdiri tegak hingga abad ke-21 ini.
Di Universitas Al-Azhar ini, rektor (syekh Al-Azhar), selain merupakan jabatan
akademis, juga merupakan kedudukan politis yang berwibawa vis avis kekuasaan politik.
Tetapi, sejak Dinasti Usmaniah (1517-1798) pamor Al-Azhar mulai menurun, sehingga
Muhammad Ali mengintervensi Al-Azhar dalam membenahi Al-Azhar sejak paroh abad
ke-19. Kenyataan ini pula yang membawa preseden lenyapnya “independensi” Al-Azhar
sebagai lembaga akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas dan pamornya,
terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan politik hingga kini.
Keempat, Universitas Cordova, Pemerintahan Abdurrahman I dipandang sebagai
tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan di Cordova. Sejarah mencatat bahwa Aelhoud
dari Bath (Inggris) belajar di Cordova pada tahun 1120 M yang mendalami geometri,
aljabar dan matematika.
2. Studi Islam di Dunia Barat
Kejayaan
Islam dalam konteks ilmu pengetahuan telah menjadikan perguruan
tinggi Islam “dibanjiri” para mahasiswa dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang
kemudian menjadi tokoh-tokoh atau pemikir Barat. Inilah kontrak pertama dunia Barat
dengan dunia Islam (Muslim). Perguruan tinggi terkenal dalam masa kejayaan antara
lain perguruan tinggi yang berpusat di Irak (dunia Muslim belahan Timur) dan Mesir
serta Cordova (di dunia Muslim belahan Barat). Inilah awal kebangkitan (renaisance)
Barat yang secara perlahan mencapai kemajuan yang gemilang.
Kemajuan Barat juga tidak terlepas dari kegiatan penerjemahan manuskripmanuskrip
berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M hingga masa
ranaisance di Eropa abad ke-14 oleh para ilmuan Barat, termasuk tentunya orientalis.
Kegiatan penerjemahan tersebut mendapat dukungan Kaisar Dinasti Romawi (1198-
1212), Raja Frederick dari Sicilia.
Kegigihan sang raja akhirnya membuahkan hasil
dengan terbangunnya beberapa perguruan tinggi di Italia, seperti Padua, Florence,
Milano, Venezia, disusul oleh Oxford dan Cambride di Inggris, Sorbone di Perancis,
dan Tubingen di Jerman. Bidang filsafat merupakan yang paling menonjol dari
kegiatan penerjemahan manuskrip tersebut, sehingga lahirlah aliran Skolastik, aliran
Rasionalisme, aliran Emphirisme, dan lain-lain. Kegiatan penerjemahan ini telah
membuka Barat mengembangkan penelitian mereka dalam bidang ilmu pengetahuan di
Barat.
Francirs Bacon (1561-1626) telah megilhami para sarjana Barat dalam kegiatan
observasi dan eksperimen, terutama karyanya Novu Organon.
Tercatat tokoh yang mengembangkan ilmu pengetahuan dari penerjemahan
manuskrip Arab tersebut Gerbert d’Auvergne (999-1003 M) dalam bidang kedokteran
dan matematika di abad ke-11 M. Pada pertengahan abad ke-12 M dibentuk semacam
kelompok penerjemah yang diketuai oleh Archdeacon Dominicues Gundasalvi. Kelompok
ini untuk pertama kalinya menerjemahkan humpunan komentas Ibnu Sina dan alGhazali
dalam bahasa Latin. Karya Ibnu Sina untuk pertama kalinya diterjemahkan dalam bidang kedokteran berjudul Canon of Medicine oleh Cromena (w. 1187 M). Tetapi
usaha penerjemahan baru berlangsung secara intensif pada masa Raja Frederik II
(1212-1250 M)m yang menetap di Palermo, ibukota Sicilia.
Di Palermo, Raja Frederik II
mengumpulkan para sarjana Yahudi untuk pentingan penerjemahan, kemudia sarjana
Kristen yang mendalami bahasa Arab. Bahkan, Frederik II ini memberikan fasilitas
khusus kepada Michael Scot (1175-1234 M) yang menerjemahkan buku karya Averrous
(Ibnu Rusyd) dan Hermanus Allemanus yang menerjemahkan karya-karya al-Farabes
(al-Farabi). Hermanus Allemanus ini juga menerjemahkan Retorica, terjemahan karya
Aristo (384-322 M) di dalam bahasa Arab serta menerjemahkan Poetic dan Ethica karya
Avverous yang merupakan terjemahan karya Aristo.
Setelah ilmu pengetahuan Islam (Muslim) ‘migran’ ke Barat dan dikembangkan
oleh para sarjana mereka, ternyata banyak ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran
sebenarnya, karena telah dirasuki oleh paham sekuler. Inilah yang menyebabkan para
sarjana Muslim melakukan upaya pemurnian ajaran. Ismail Raji al-Faruqi, Naquib alAttas,
Ali Ashraf, Ziauddin Sardar dan lain-lain, terpanggil untuk upaya ini. Tokoh-tokoh
ini menawarkan gagasan Islamisasi pengetahuan, yakni melakukan penulisan ulang
terhadap ilmu-ilmu modern (produk Barat) dan menanggalkan ciri-ciri sekularismenya.
Upaya lainnya mendirikan universitas-universitas Islam seperti yang terjadi di Pakistan,
International Islamic University, di Washington DC, Islamic of Advanced Studies, atau
The International Institut of Islamic Thought and Civilization (biasa disebut ISTAC) yang
dipelopori oleh Naquib al-Attas.
Dalam perkembangan selanjutnya, studi Islam di Barat sedikit bervariasi. Di Chicago
University, studi Islam menekankan pada bidang pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah
klasik dan bahasa-bahasa Islam non Arab. Studi Islam tersebut berada di bawah Pusat
Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat, di Amerika,
studi Islam pada umumnya menekankan pada studi sejarah Islam, bahasa-bahasa
Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial, yang berada di bawah Pusat
Studi Timur Tengah atau Timur Dekat. Di UCLA, studi Islam dibagi empat komponen.
Pertama, mengenai doktrin dan sejarah Islam, termasuk pemikiran Islam.
Kedua, bahasa
Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum dan lain-lain.
Ketiga, bahasa-bahasa
non Arab yang muslim, seperti Urdu, Persia, Turki, bahasa yng telah menghantarkan
kebudayaan.
Keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam,
sosiologi dan lain-lain.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies,
fakultas mengenai studi Ketimuran dan Afrika, yang memiliki berbagai jurusan Bahasa
dan Kebudayaan Asia dan Afrika. Salah satu program studi di dalamnya program MA
tentang masyarakat dan budaya Islam yang dapat dilanjutkan ke jenjang doktor.
Di
Kanada studi Islam menekuni kajian budaya dan peradaban Islam di zaman Nabi
Muhammad hingga masa kontemporer, memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim
di seluruh dunia, dan mempelajari bebagai bahasa Muslim, seperti bahasa Persia, Urdu,
dan Turki. Sedangkan di Belanda, yang dulunya menganggap tabu mempelajari Islam, ternyata masih menyisakan kajian Islam di Indonesia, walaupun tidak menekankan
pada aspek sejarah Islam itu sendiri.